Kalau di Celoteh Bunda kemarin saya nulis tentang Menjelang Empat Tahun Pernikahan, di blog Sohibunnisa ini saya mau cerita kalau umur saya sudah 26 tahun. Duh pantas aja ya banyak yang suka guyon kalau usianya jauh lebih muda dari yang seharusnya. Karena memang bertambah tua usia itu jadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Khawatir usia semakin pendek, atau pencapaian apa saja yang sudah didapatkan dalam hidup ini.
Apalagi saya yang katanya lagi ngalamin quarter life crisis. Sedih banget umur 26 malah belum jelas mau ke mana sebenarnya. Tapi jujur, perlahan sudah agak lebih tenang dibanding sebelumnya. Sudah mulai menemukan diri sendiri. Sudah lebih dekat ke Allah. Bangun tidur tuh sudah nggak sedih lagi. Sudah bisa menerima banyak hal. Dan saya merasanya memang hidup lebih baik dibanding tahun-tahun kemarin.
Pas lihat foto awal-awal nikah buktinya. Kok ngeliat wajah sendiri kayak kusam, badan kurus, kulit hitam. Tapi pas lihat foto-foto terbaru wajah jauh lebih kelihatan segar, badan berisi, kulit juga lebih cerah. Alhamdulillah, tanda pernikahan memang lebih bahagia hehe.
Tidak ada teori paling tepat selain teori diri kita sendiri
Saya merasa menutup media sosial itu beneran langkah yang tepat. Saya jadi nggak banyak distraksi. Sudah bisa menerima segala hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Mungkin karena benar apa kata saya, bahwa media sosial itu terlalu banyak teori. Akhirnya numpuk di pikiran. Sampai sekarang saya sadar bahwa manusia selalu membawa kebenarannya sendiri-sendiri.
Yes, nggak ada manusia yang paling benar kecuali para nabi dan sahabatnya. Semua punya teorinya sendiri. Yang saya rasa sih itu timbul dari pengalaman hidup mereka. Padahal benar apa kata buku Quantum Ikhlas bahwa manusia paling pintar sesungguhnya diri kita sendiri. Biar bagaimana pun ya kita juga jalanin hidup, pasti akan menghasilkan pengalaman. Nah pengalaman itulah sesungguhnya guru terbaik kita. Ah begitulah kata pepatah sewaktu SD, bukan?
Beneran deh, capek kalau kita pakai standar orang lain terus-terusan. Semua teori mungkin nggak ada yang salah. Tapi kita juga harus bisa memutuskan mana yang bisa dipraktekkan dan mana yang belum memungkinkan dan harus disesuaikan dengan kondisi kita sendiri. Dan nggak perlu juga kita menyalahkan teori orang lain. Karena setiap orang pasti punya pertimbangannya sendiri akan keputusan-keputusannya.
Memikirkan hanya hal-hal yang penting bagi diri sendiri
Sekarang saya juga udah lebih bisa nahan untuk nggak mikirin hal-hal yang menurut saya nggak berpengaruh dalam hidup. Kayak masalah politik aja contohnya, saya pernah dibilang apatis HANYA gara-gara saya nggak ikutan rame ngomong kayak orang-orang. Ah, bodo amat mau dibilang apatis. Toh gue nggak apatis dengan diri gue sendiri. Gue lebih penting untuk diselamatkan. Ya gimana mau nyelamatin orang, kalau diri sendiri aja tenggelam?
Mungkin itulah tips ketenangan hidup. Kalau kata buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat itu cukup memikirkan hal-hal yang penting bagi diri kita sendiri.
Kunci untuk kehidupan yang baik bukan tentang memedulikan lebih banyak hal, tapi tentang memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak dan penting. (hlm. 6)
Sudah bisa menerima diri sendiri dan semua keadaan yang terjadi
Yah dengan kata lain saya yang sekarang sudah lebih bisa menyaring informasilah. Saya merasa diri sudah lebih dewasa dibanding dulu. Sudah bisa menerima keadaan yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Sudah bisa menerima takdir Allah yang nggak bisa diubah.
Misalnya waktu ayah meninggal. Suami sudah takut aja saya pingsan di tengah jalan karena dapat kabar begitu. Tapi ya saya ngerasanya memang, “Ya udah. Udah takdir Allah. Mau gimana?” Sedih ya sedih. Tapi saya bisa apa sih? Meraung-raung? Nggak akan mengubah keadaan toh. Saya lebih pilih ikhlas. Biar ayah juga tenang di sana.
Atau ketika misalnya saya punya ekspektasi A saat melakukan Z. Eh yang terjadi ternyata malah meleset jadi B. Ya paling saya cuma ngomong, “Yah, yaudahlah.” Kalau sebelumnya kan suka marah-marah sendiri. Tapi sekarang, kayak “Ya udah, emang udah takdirnya begini kali.” Atau, “Ya udah, toh udah ini yang terjadi. Ya terima aja.”
Jadi kalau saya menilai diri sendiri dari 1-10, saya ini sudah di tahap nilai 7 deh. Yang dikit lagi dipoles, saya bisa semakin dewasa.
Berharap menjadi manusia yang lebih sabar dan ikhlas
Saya cuma berharap di 26 tahun ini saya bisa lebih SABAR. Duh Allah, betapa saya ingin beli kesabaran sebanyak-banyaknya. Dan bisa lebih ikhlas menjalani hidup dalam aspek apapun. Karena cuma dengan sabar dan ikhlas hidup itu menjadi tenang. Kalau tenang, sudah otomatis kita akan lebih mudah menghadapi semuanya. Ujungnya kita bisa bahagia tanpa harus jauh-jauh ke luar mencari kebahagiaan.
Dan semoga krisis hidup lekas berakhir. Semoga benar kata suami, bahwa ujian-ujian yang dilimpahkan Allah saat usia kita masih muda ini bisa jadi bekal. Sehingga saat hari tua nanti kita lebih bisa menikmati hidup. Istilahnya sekarang menanam, nanti tinggal menuai hasilnya. Duh, Aamiin ya Allah. Aamiin ya Rabbal Alamin.
Saya juga mohon maaf kepada teman-teman semua ya. Barangkali saya ada salah-salah yang sengaja atau tidak disadari. Semoga saya dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Karena Allah bilang, bahwa Allah akan mengampuni hamba-Nya yang tidak menyakiti manusia lain. Semoga saya mendapatkan maaf dari semua teman, dan saudara-saudara sekalian. Maaf ya :’)