Hei Cantik. Apa kabarmu?
Lama tak menghampirimu membuat aku seperti berdosa. Meski aku
tetap menyapa, namun tak singgah di rumahmu membuat hatiku ada yang janggal.
tetap menyapa, namun tak singgah di rumahmu membuat hatiku ada yang janggal.
Aku bingung Cantik.
Niat awal ingin mengurusmu dengan sepenuh hati, namun apa? Nyatanya
aku belum bisa istiqomah. Ah, mungkin bukan belum bisa. Tapi belum mau! Astagfirullah. Maaf Cantik,
maafkan aku 🙁
aku belum bisa istiqomah. Ah, mungkin bukan belum bisa. Tapi belum mau! Astagfirullah. Maaf Cantik,
maafkan aku 🙁
Cantik, apa kau tahu mauku?
Apa kau paham maksudku?
Sesungguhnya aku ingin segala hal yang terbaik untukmu. Segala hal murni dan menarik yang ku tuang untukmu. Tak ingin aku terus-terusan (seperti) mencuri di rumah mereka demi mempercantik rumahmu. Meskipun aku tetap membawa nama mereka dalam rumahmu.
Cantik, bukan aku diam selama ini.
Kau pun pasti tahu bagaimana usahaku. Ah, iya usahaku memang belum sempurna, atau jangan-jangan lagi-lagi belum sepenuh hati? Sungguh renungan untukku. Aku sudah berusaha memperkenalkanmu pada mereka, pada khalayak ramai. Dari yang ku kenal sampai yang tidak ku kenal sekalipun! Toh pada akhirnya bukan salah mereka yang masih memandang sebelah mata, tapi ini memang murni salahku. Usahaku yang harusnya lebih keras lagi!
Cantik, maafkan aku.
Bicaralah!
Sampai kapan kau diam, dan enggan mempersilahkan aku untuk masuk lagi?