Alhamdulillah, untuk kedua kalinya hari Minggu, 27 Januari kemarin saya diizinkan suami untuk keluar sendiri, pergi jauh tanpa anak-anak. Tapi bukan tanpa tujuan. Hari itu saya ‘sekolah’ di sebuah hotel di Surabaya untuk belajar Emotional Healing bersama Adjie Santosoputro.
Sebelumnya, sudah lama saya kenal Mas Adjie dari bukunya, Sadar Penuh Hadir Utuh. Sejak itulah saya mulai tertarik untuk mempelajari mindfulness atau kesadaran secara penuh. Hidup di saat ini, di sini, dan kini. Makanya, ketika tahu beliau ada kesempatan ke Surabaya, saya tidak mau menyia-nyiakan. Dari yang awalnya minta izin ikut yang Talk Session 3 jam, eh Alhamdulillah suami malah menganjurkan saya untuk ikut Practice Session saja yang 8 jam sekalian :’)
Dan di Emotional Healing ini sejujurnya saya ingin belajar untuk lebih bisa mengelola emosi. Seringkali reaksi-reaksi yang spontan cukup mengganggu kehidupan pribadi bahkan relasi saya dengan pasangan, anak-anak, juga orang-orang sekitar hiks. Dan ya, sedikit mengurangi trauma-trauma di masa lalu.
Semua berawal dari pikiran
Acara ini dibuka dengan sejenak hening. Yakni duduk diam, tenang, dan merasakan tarikan dan hembusan nafas. Untuk setelahnya kami melakukan gerakan-gerakan sederhana untuk meregangkan otot dan dilanjutkan dengan materi-materi.
Semua yang kita rasakan adalah diawali dari pikiran. Kenapa kita bisa merasakan marah, sedih, kecewa, juga bahagia dan gembira, itu semua karena pikiran.
Pikiran kita selalu melanglang buana ke masa depan dan masa lalu. Terperangkap pada masa lalu yang belum kita terima. Dan terjebak pada tujuan-tujuan masa depan yang kita buat sendiri.
Pikiran kita selalu bermain-main, menerka-nerka apa yang akan terjadi. Padahal belum tentu itu yang sebenarnya sedang atau akan terjadi.
Pikiran kita selalu menghakimi. Sedih adalah musibah. Senang adalah keberkahan. Miskin adalah musibah. Kaya adalah berkah. Padahal belum tentu itu yang sebenarnya terjadi. Tidak ada berkah yang bisa disebut berkah jika tak ada musibah. Tidak akan bisa disebut senang jika tak ada sedih.
Pikiran kita juga selalu melawan. Kita boleh saja marah. Tak perlu dilawan, “Jangan marah”. Karena ketika dilawan, yang ada kita hanya sedang menanam bom dalam diri yang sewaktu-waktu bisa saja meledak. Naudzubillah.
Hidup saat ini, di sini, dan kini
Maka dari itu, kita hanya butuh untuk hidup di saat ini, di sini, dan kini. Sadar penuh hadir utuh. Kita butuh untuk menyadari apapun yang kita lakukan.
Menyadari bahwa hidup tidak bisa kita kendalikan. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah diri dan pikiran kita sendiri.
Kita tidak perlu melabel segala yang terjadi. Resapi saja dulu apa yang kita rasakan, lalu terima dalam hati dan kita akan lebih tenang menghadapi semuanya. Dengan semua itu, kita akan menjadi orang yang lebih bersyukur dan mudah memaafkan.
Emotional healing dengan mindfulness
Caranya bagaimana, kita butuh untuk jeda sejenak. Setiap kali merasakan marah misalnya, kita bisa duduk diam, menerima rasa marah itu dalam hati. Jadi tidak langsung bereaksi. Begitu pun ketika kita merasa sedih, gagal, atau kecewa.
Kedua, kita butuh istirahat dan menyadari pikiran. Sadar dengan apapun yang kita lakukan. Sesederhana menyadari nafas kita atau apa yang kita makan. Lalu belajar ikhlas menerima apapun yang terjadi.
Selanjutnya kita bisa mensyukuri apa yang sudah kita dapatkan saat ini tanpa perlu mencemaskan apa yang akan terjadi dan belum kita dapatkan. Karena bahagia sejatinya hanya ada jika kita menerima dan hidup di sini dan kini.
Untuk hidup tenang, kita juga butuh memaafkan orang-orang yang dirasa pernah menyakiti hati kita. Membuat kita kecewa. Tapi lebih daripada itu, yang harus kita lakukan adalah memaafkan diri sendiri.
Baca: Menerima dan Berdamai dengan Diri Sendiri
Terakhir, merawat cinta dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Dengan sentuhan, pelukan, bisa juga dengan kata-kata.
Ya, pikiran sejatinya bisa kita kendalikan. Sesederhana kita menyadari setiap tarikan dan hembusan nafas. Nikmat yang sering kita lupakan. Padahal bisa membuat hidup kita jauh lebih tenang.
Nafas membuat kita belajar jeda. Apapun yang terjadi, diam sejenak. Hening. Dan terimalah semua yang terjadi. Bahkan jika itu sakit dan kecewa sekalipun. Jika tenang, maka kita akan lebih mudah menjadi orang yang bersyukur dan mudah memaafkan.
Praktek langsung dengan emotional healing mindfulness
Yang saya suka dari practice session kemarin adalah kita diajak untuk belajar jeda dan hening sejenak. Inilah kunci dari Emotional Healing dengan mengedepankan mindfulness atau kesadaran penuh. Di sadar penuh inilah kita diajak untuk belajar menjeda setiap reaksi, menerima, bersyukur, hingga bisa memaafkan.
Saya merasakan sulit sekali awalnya untuk fokus. Ada banyak warna, gambar, atau pikiran-pikiran yang melintas. Tapi karena diberi tahu bahwa ‘markas’ kita adalah nafas, maka setiap kali mulai tidak fokus, kita harus kembali lagi merasakan tarikan dan hembusan nafas.
Terima kasih Mas Adjie atas pelajaran berharganya. Insya Allah, semoga saya bisa mempraktekkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari dengan mengawalinya untuk hening sejenak meski hanya 5 menit 🙂
acara yang bermanfaat banget ya mba, dimana kita belajar untuk bisa lebih tenang. Memang sih saya pribadi pun masih sulit untuk bisa tenang menghadapi sesuatu
Iya Mbak bagus acaranya 🙂