Teman-teman tahu film Joker? Atau malah sudah nonton? Tapi sorry, saya di sini bukan mau bahas film itu. Ya nonton aja belum haha. Dan mungkin nggak akan mau nonton 😜 Dasarnya memang kurang suka film action. Pun katanya si film Joker ini juga mengandung cerita yang konon bisa mencabik-cabik mental seseorang haha. Sudahlah nggak ada alasan buat saya nonton.
Sebodo juga dengan yang mengharus-haruskan orang buat nonton. Karena toh beberapa psikolog aja sampai membahas bahwa film ini memang nggak mesti cocok untuk semua orang dewasa. Saya mungkin termasuk salah satunya. Tahu mental saya lagi lemah, buat apa memaksakan diri melakukan sesuatu yang tidak ada ruginya juga kalau tidak dilakukan.
Karena ya kita tahu kapasitas diri kita
Saya memang sering heran dengan orang yang hobinya mengharus-haruskan. Seakan-akan apa yang dia lakukan itu sungguh HARUS ditiru banyak orang. Kalau tidak dilakukan kayak yang lain itu salah dan nggak mau diatur. Padahal semua manusia TIDAK ADA yang kondisinya SAMA persis.
Sampai-sampai saya ketrigger gara-gara film Joker tadi. Di salah satu thread, akhirnya saya mulai protes. Bahwa ya memang orang yang nggak nonton itu karena nggak mau nonton. Bukan karena nggak mau belajar, apalagi sampai dibilang nggak punya hati karena nggak mau lihat keadaan sekitar. Gimana mau nonton, kalau kita sendiri aja TAHU KAPASITAS diri sendiri. Tahu bahwa kita ini BELUM MAMPU untuk nonton.
Baca: Tahu Kapasitas Diri itu Penting Banget
Kondisi mental orang itu kan beda ya. Ada yang memang kuat dan sedang tidak ada masalah lantas enak-enak aja mau nonton pun. Tapi jangan lupakan bahwa ada yang memang sedang lemah, sedang sensitif. Atau karena memang merasa tidak butuh nonton aja. Jadi tidak perlu diharuskan pun, semua sudah tahu kapasitas dirinya. Apalagi istilahnya ini cuma perkara keduniawian yang super remeh temeh banget. Ya ditinggalin pun nggak dosalah 😄
Sering berlatih mendengarkan
Memang ini jadi hal yang paling saya miris-kan juga sih. Terlalu disuguhi banyak teori, banyak omongan, membuat kita jadi riuh sendiri. Sampai-sampai kita jadi nggak dengar apa kata hati sendiri. Nggak tahu mana yang beneran BENAR, mana yang beneran salah. Mana yang seharusnya harus diikuti, mana yang bisa diabaikan karena kondisi kita tidak sama.
Karena memang eranya sekarang tuh NGOMONG. Nulis kayak saya sekarang ini ya termasuk ngomong. Di media sosial pun ya orang ngomong. Makanya di era ngomong ini kalau bisa kita sering-sering berlatih mendengarkan. Bukan mendengarkan orang lain. Tapi mendengarkan DIRI SENDIRI.
Kalau kata Mas Adjie, sering-sering latihan hening. Menyadari nafas. Berhenti sejenak. Apalagi di media sosial yang sudah sangat riuh.
Kenapa? Supaya kita tahu SIAPA diri kita. Supaya kita tahu APA yang kita inginkan sebenarnya. Supaya kita bisa MENENTUKAN prinsip apa saja yang akan kita anut. Kalau kita tidak tahu itu semua, kita akan jadi orang yang mudah terombang-ambing.
Sudahlah, di blog ini saya sudah beberapa kali bahas ini. Salah satunya di postingan Strong Why yang baru saya tulis akhir bulan lalu.
Menjadi berbeda itu tidak apa-apa
So, kesimpulannya, selama kita mampu mengenal siapa diri kita, TAHU kapasitas diri kita, apa yang menjadi prinsip kita. Selama itu benar. Menjadi berbeda itu tidak apa-apa. Kita tidak harus sama dalam segala hal. Yang benar-benar berhak menilai bahwa kita benar atau salah, murni hanya Allah saja.
Selama kita meyakini bahwa sebuah teori itu benar, silakan saja diikuti. Pun ketika tidak mampu diikuti, jangan merasa bersalah sendiri. Karena biar bagaimana pun, manusia memang makhluk yang pandangannya terbatas dan kodratnya selalu punya khilaf.
Apalagi seremeh film Joker, sudahlah nggak nonton pun nggak dosa kok. Tidak ada yang harus merasa dirugikan juga 😄
Saya memang sering heran dengan orang yang hobinya mengharus-haruskan. Seakan-akan apa yang dia lakukan itu sungguh HARUS ditiru banyak orang <— terutama yg baru hijrah dan mengharuskan kita mengikuti gaya hidup mereka 😛
Gaya hidup yang mana? Kalo yang baik ga ada salahnya diikutin. Yang salah kan kalo mereka maksa harus sama
Saya juga gak bakalan nonton sih karena tahu punya trauma yang masih susah sembuh dan bahayanya bisa memicu trauma ini muncul kembali
Betul Mbak. Karena kita tahu kapasitas diri kita ya
“Gak nonton pun gak dosa.” Bener.
Justru sebaliknya malah. Ikut nonton malah bisa bikin dosa. Kalau banyak mudhorat-nya.
Alhamdulillah.
Lingkungan saya sekarang ini gak memaksa-maksa untuk ikut-ikutan yang aneh-aneh. Bahkan sekiranya diajak ikut pun –jika bertentangan– maka saya lebih memilih untuk tidak ikutan. 🙂
Itu dia kalo kita tahu ada mudhorotnya ya mending nggak usah ya
Tiap nonton film saya selalu nonton suasana behind the scene-nya, bgmn sutradara mengarahkan aktor, bloopers (adegan2 salah), hingga wawancara2, jadi ya saya slalu anggap itu hanya film. Hal ini yang saya lakukan utk mengantisipasi baper.
Btw, joker itu bukan genre action, menurut saya psycological drama, agak kecewa karena mmg engga ada batman :))
Oh saya kira banyak adegan berantemnya hihi.