Memaafkan diri sendiri – Saya kira sesi healing mate hari Selasa lalu bakalan membosankan. Oh iya, healing mate itu adalah sesi khusus alumni yang pernah ikut kelas Mas Adjie Santosoputro. Pikir saya, kalau membosankan, saya akan ngeZoom sambil mewarnai. Tapi ternyata tema Dear Self, Please Forgive Me, malah bikin saya ambyar seambyar-ambyarnya dan fokus sampai akhir.
Mbak Nina sebagai narasumber sukses bikin saya ingat orang tua. Apalagi kami sama-sama sudah ditinggal ayah dan sama-sama tidak bisa mengucapkan apa-apa karena ayah keburu nggak ada.
Saya sedih ditinggal ayah. Sehari setelah saya pulang, justru ayah nggak ada. Saya cuma pamit mau pulang ke Surabaya tanggal 15 November 2018. Tapi 16 November pukul 06.00 saya dikabarin kalau ayah sudah nggak ada. Saya sampai nggak kuat lagi dengerin kakak saya di telepon. Makanya lagu Cold Play yang Daddy makin bikin saya ambyar.
Bukan cuma saya yang pernah ada di titik terendah
Saya merasa nggak punya daddy issues seperti Mbak Nina. Ayah saya baik. Beliau setia dengan ibu sampai akhir hayatnya. Tapi sebuah rumah tidak akan pernah bahagia selamanya toh. Itulah yang teringat di saya. Segala permasalahan, pertengkaran, dan peperangan yang pernah terjadi di rumah.
Nulis ini aja saya nangis lagi. Saya sedih banget semua baru saya rasakan setelah nikah bahkan setelah punya anak. Saya merasa apa iya inilah sesungguhnya perasaan saya yang dulu. Sedih, marah, kecewa. Tapi karena dulu saya ‘tidak’ diizinkan atau mungkin menahan, jadilah BOMnya keluar sekarang.
Saya sudah beberapa kali cerita bahwa saya mengalami krisis diri yang parah. Saking parahnya sampai-sampai saya dibayarin suami untuk ikut kelasnya Mas Adjie Santosoputro seharian. Tapi ternyata itu belum cukup. Dan akhirnya, Februari lalu saya memutuskan ke psikiater. Saya merasa perlu memaafkan terutama memaafkan diri sendiri.
Tidak usah diceritakanlah apa saja permasalahan saya. Saya cuma mau bilang, di sesi Healing Mate kemarin saya semakin ngeh bahwa bukan saya saja lho yang pernah ada di titik terendah. Semua punya titik itu. Titik di mana kita merasa bersalah, merasa pernah dikecewakan, bahkan merasa nyaris putus asa. Itulah kenapa akhirnya kita sama-sama ketemu dengan Mas Adjie.
Semakin berusaha memaafkan diri sendiri, justru semakin sulit
Saya nggak mau nyalahin orang tua. Biar gimana pun apa yang dibilang Mbak Nina ada benarnya. Orang tua kita tuh sebetulnya sayang lho sama kita. Cuma nggak tahu caranya. Dulu kan nggak ada psikolog, nggak ada teori parenting. Orang tua berjalan sebagaimana mestinya seperti apa yang sudah diturunkan dari orang tuanya sampai buyutnya.
Saya cuma tertohok dengan kalimat Mas Adjie. Kita tidak perlu belajar memaafkan. Karena ketika kita belajar memaafkan, berarti di situ ada penghakiman bahwa seseorang bersalah. Dan sialnya, semakin kita belajar memaafkan, itu justru akan semakin sulit.
Kalau kata suami, karena memaafkan itu harus mengingat dulu. Dan ketika ingatan itu kembalilah hati kita bisa merasakan sakit lagi. Bisa jadi kenapa memaafkan diri sendiri juga sulit, karena yang ada di pikiran, kita justru terus menerus menyalahkan diri sendiri.
Ade sayang ayah dan ibu
Saya nggak mau nyalahin orang tua. Saya mau belajar tidak menghakimi. Saya tahu orang tua sayang sama saya. Buktinya saya dirawat dengan baik kok dari lahir sampai sebelum nikah. Cuma sekelebat kesalahan mereka dibanding semuanya yang sudah mereka berikan.
Saya sayang dengan almarhum ayah. Saya mau minta maaf kalau dulu saya pernah tidak suka dengan ayah. Saya sayang dengan ayah. Maafkan ayah, kalau dulu Ade nggak suka dicium ayah. Maafkan Ade juga kalau Ade nggak pernah bilang Ade sayang dengan Ayah. Padahal Ayah sudah banyak melakukan kebaikan ke Ade. Bahkan kata yang lain Ade adalah anak yang istimewa buat Ayah.
Ade juga sayang dengan Ibu. Betapapun Ade bosan disuruh bersyukur terus, tapi kebaikan ibu juga nggak terhitung banyaknya. Ade sayang sama Ibu. Alhamdulillah, Ade nggak canggung lagi untuk nyium Ibu kalau ke Bekasi.
KeAKUanlah yang membuat kita menderita
Yang bikin saya tertohok adalah saat Mas Adjie bilang sebetulnya bukan sakit hati yang membuat kita menderita. Tapi karena “AKU sakit hati.” KeAKUan itulah yang membuat kita merasa bisa menghakimi seseorang salah. Padahal siapa kita yang bisa menghakimi? Tahu dari mana kita apa seseorang benar-benar salah atau tidak?
Semakin kita sering merasa AKU AKU AKU, maka semakin besarlah ego kita.
Itulah saya. Mungkin selama ini ego saya besar sekali. KeAKUan saya masih tinggi. Ketika saya disenggol, maka dengan enaknya saya berkata AKU sakit hati lho. AKU marah lho. Ya faktanya dengan begitu saya sadar justru SAYA SENDIRIlah yang membuat semuanya jadi sulit.
Saat muncul AKU, maka sadari saja. Ya rasa sakit hati itu tetap ada. Namanya juga manusia. Tapi tak perlu kita hakimi. Bisa jadi semua yang membuat kita merasa sakit justru dihadirkan untuk menjadi pembelajaran yang berharga bagi kita.
Saya juga mikir, mungkin keAKUan ini yang bikin kita jadi sombong. Semakin merasa AKU, maka semakin sombonglah kita. Dan kesombongan itu pasti akan seimbang dengan penderitaan. Naudzubillah.
Bukan lagi memaafkan diri sendiri, tapi berterima kasih pada diri sendiri
Terima kasih Mas Adjie dan Mbak Nina. Saya mau belajar mengurangi keAKUan. Dan saya mulai bisa berkata, “Tak ada yang perlu saya maafkan. Bahkan diri saya sendiri.” Saya sadar, apa-apa yang terjadi memang sudah sepatutnya terjadi. Dan kalau tidak ada kejadian itu, mungkin kita tidak bisa ada sampai di titik ini. Bahasa halusnya, semua terjadi karena memang sudah kehendak Allah. Dan tidak ada yang terjadi bila Allah tidak diizinkan.
Terima kasih untuk diriku. Terima kasih untuk kita. Terima kasih karena sudah mau berjuang dan bertahan sampai sejauh ini.