
Dulu rasanya bangga banget selalu bisa dengerin curhatan teman. Kayak banyak gitu yang percaya sama gue. Padahal dibilang dekat pun enggak. Tapi dia enjoy aja curhat sama saya. Bahkan nggak jarang, curhat masalah yang menurut saya privat banget. Dan beberapa ngomong, “Gue cuma curhat sama lu.” Oh, rasanya bangga banget bisa dipercaya sama banyak orang.
Tapi setelah dewasa, rasanya energi untuk dengerin cerita, nggak sebesar pas zaman sekolah, kuliah, sampai sebelum nikah. Setelah dewasa, justru gantian saya yang menggumam, “Gue selalu bisa dengerin curhatan orang. Lalu kapan giliran gue bisa curhat ke orang? Kapan orang bisa dengerin gue ngomong panjang lebar sebagaimana gue dengan diam dan saksama mendengarkan curhatan mereka bahkan hingga berlarut-larut?”
Sedih ya haha.
Menjadi pendengar butuh energi yang besar
Ya, dulu saya mungkin bangga bisa menjadi pendengar. Dan bisa menjadi pendengar itu sesuatu yang memang kelihatan “WAH” kan. Tapi ternyata enggak!
Setelah saya belajar soal psikologi dari berbagai referensi, menjadi pendengar itu sungguh butuh energi yang besar. Terlebih ketika yang kita dengarkan adalah curhatan dengan muatan emosi negatif. Kalau kita sebagai pendengar tidak mampu menampung, si pendengar bisa jadi malah menyerap energi negatif itu, yang berujung terbawa ke dunia nyatanya.
Misalnya gini deh. Ada teman curhat sedang kesal dengan keluarganya. Kita sebagai pendengar bisa-bisa ikutan kesal dengan keluarga sendiri. Padahal, kita TIDAK SEDANG ada masalah apapun dengan keluarga. Nah seram banget kan.
Jadi memang energi ini nggak kelihatan. Dari luar kita mungkin merasa baik-baik saja. Tapi jauh di dalam diri kita, sebetulnya kita sedang TIDAK SIAP untuk menampung curhatan negatif alias sama dengan energi negatif.
Makanya, saya baru ngeh. Kenapa kalau mau curhat mendalam, dianjurkan ke psikolog. Karena mungkin psikolog sudah punya ilmunya untuk bisa menyaring energi negatif agar tidak masuk ke dalam dirinya. Hehe CMIIW. Kalau saya salah, mohon dikoreksi ya 😊
Kapan giliran saya curhat?
Oke, teori energi tadi hanya intermezzo aja sih. Hal yang mau saya omongi bukan teori panjang lebar itu. Tapi saya justru mau curhat haha.
Seperti di awal saya bilang, “Kapan ya giliran gue bisa curhat?”
Saya memang bukan orang yang suka curhat ke sembarang orang layaknya orang yang bisa dengan enak curhat ke siapa saja. Saya orang yang cukup tertutup. Dan hanya segelintir orang yang benar-benar tahu saya.
Semakin dewasa saya bukan lagi ingin menjadi pendengar. Saya justru lebih ingin DIDENGARKAN.
Terakhir saya ketemu teman-teman lama, dan seperti biasa, mereka curhat panjang lebar. Saya nggak lagi terlalu fokus mendengarkan mereka. Tapi diam-diam saya berpikir, “Kapan giliran gue ngomong? Kok lu terus yang cerita? Gue nih juga punya banyak bahan yang bisa gue curhatin lho. Pengen deh rasanya sesekali lu dengerin gue sebagaimana gue dengerin lu.”
Terkesan jahat. Tapi untungnya itu cuma ada di dalam pikiran saya. Dari luar, saya masih terlihat biasa. Menjadi pendengar yang baik.
Kadang mereka ngasih kesempatan saya ngomong sih. Curhat juga. Tapi saya kesal. Baru lima enam kalimat keluar, mereka potong omongan saya dengan cerita mereka sendiri lagi yang panjang lebar. Terpaksa, saya diam dan menjadi pendengar lagi 😆
Ya gitu, suka sedih aja. Saya memang nggak bisa terang-terangan bilang ke mereka, “Eh gue dulu dong cerita sampe selesai. Plis lu dengerin gue aja.” Entahlah, saya memang lemah 😆
Sahabat terbaik, pasangan sendiri
Makanya, kenapa saya berkali-kali bilang sahabat terbaik saat ini ya cuma suami. Karena cuma ke suami saya berani bilang, “Sayang aku mau curhat. Sayang dengerin aja ya. Aku nggak butuh solusi. Pokoknya dengerin aja.” Ya suami akan diam sampai saya selesai ngomong.
Dan itu sebabnya cuma ke beliau saya bisa ngomong panjang lebar sampai tertawa lalu nangis lalu tertawa lagi. Begitulah.
Hehe, mungkin ada teman-teman saya yang baca ini. Maaf ya, ini murni cuma curhatan saya aja. Saya nggak pintar kalau ngomong. Jadi better saya sampaikan lewat tulisan 😄
Saya juga butuh mencintai diri saya sendiri
Ya gitu intinya. Saya mungkin nggak bisa lagi kayak dulu. Menjadi pendengar yang baik seperti yang diharapkan. Karena sekarang saya memang sedang menyaring apa yang boleh saya dengarkan.
Ini semata saya lakukan dalam rangka belajar self love. Saya harus mencintai diri saya. Dengan tahu kapasitas diri. Dengan tahu apakah saya punya energi yang besar untuk mendengarkan atau tidak. Dengan tahu apakah saya mampu menyaring emosi negatif untuk tidak ikut masuk ke dalam diri saya atau tidak. 😚
Tahu batasan untuk curhat
Karenanya, yang saya lakukan pun sama. Saya nggak akan curhat ke sembarang orang, karena saya memang tidak mau sekadar membuang sampah dalam diri, tanpa saya peduli apa sebenarnya mereka memang siap menjadi pendengar untuk saya atau tidak.
Ke suami pun begitu. Saya harus tahu kondisi kapan saya bisa curhat ke beliau, kapan sebaiknya saya tunda dulu.
Kalau teman-teman berpikir, urusan curhat aja ribet, ya memang begitu adanya. Karena selama ini mungkin kita hanya tahu bahwa kita harus bisa merelease emosi. Padahal, kita juga harus bisa sadar diri pada siapa kita bisa melepaskan.
Jangan sampai kita merasa sudah bisa melepaskan, sementara orang yang menjadi tempat kita melepas emosi, justru menjadi kebalikannya, yakni menyerap emosi negatif yang datang dari kita. Naudzubillah 😔
4 comments to “Tentang Menjadi Pendengar dan Butuh Didengarkan”
pungkas nurrohman - Desember 4, 2019
Memang sih, mendengarkan curhatan membutuhkan energi yang sangat besar. Karena pendengar curhat terkesan ada hukum wajib untuk mengerem ucapan. Agar yang curhat dapat mencurahkan isi hatinya. Kalau saya saat bingung mau curhat kemana, saya memilih untuk menuliskan isi hati saja. Bisa disimpan untuk sendiri atau di share dengan narasi cerita pendek. Karena saat ini masih belum punya pasangan hidup jadi bingung mau mecurahkan isi hati yang bisa menjaga privasi kemana.
Lah komen saya jadi panjang gini ya.
Ade Delina Putri - Desember 4, 2019
Iya saya juga suka nulis. Tapi karena perempuan kebutuhannya bicara, walhasil saya tetep ngerasa butuh temen ngobrol 😀
Amedysa - Desember 5, 2019
Wahahaha salah satunya yg suka motong gue ya del? Maaf ya, gue emang bad listener banget. Paling payah dengerin curhatan orang, jarang jd pendengar yg baik, kalo gue enakan diajak diskusi tuker pikiran ketimbang dijadiin tempat curhat, soalnya gue suka ga sadar aja gitu ngomongnya lebih bnyk ketimbang dengerin wkwkwk. Gue juga sekarang udah jarang bgt curhat sama orang sih, palingan nulis atau malah chat ke psikolog, palingan kalo curhat sama temen juga ala kadarnya, ga mendetail, udh males cerita krn takut dijudge atau mereka capek dengerin wkwkwk.
Ade Delina Putri - Desember 6, 2019
Haha iya wi ternyata menjadi pendengar yang baik itu ga mudah 🙁 Gue pun kalo dikasih kesempatan ngomong, mungkin ga ada remnya (kayak gue ke suami wkwk) . Mungkin itu yang menyebabkan psikolog sekolahnya mahal. Karena ternyata justru menjadi pendengar lebih mahal harganya ketimbang kita ngomong :’)