9 April kemarin, saya memutuskan untuk left semua grup WhatsApp. Dan hanya menyisakan grup kerjaan saat ini dan grup keluarga. Bahkan kalau nggak ada tanggungan, saya berniat untuk tutup semua media sosial. Kalau ditanya kenapa, kayaknya saya lagi ngalamin quarter life crisis. Apa sih quarter life crisis? Kalau kata Wikipedia sih ini,
In popular psychology, a quarter-life crisis is a crisis “involving anxiety over the direction and quality of one’s life” which is most commonly experienced in a period ranging from a person’s twenties up to their mid-thirties[1][2] (although it can begin as early as 18).[3] It is defined by clinical psychologist Alex Fowke as “a period of insecurity, doubt and disappointment surrounding your career, relationships and financial situation”.[3] – Wikipedia
Quarter life crisis
Nggak tahu ya, sudah beberapa hari sebenarnya saya merasa ada yang salah aja dalam diri. Ngerasa aneh juga. Ini gue kenapa sih? Terus mulai mempertanyakan, hidup tuh sebenarnya apa sih? Untuk apa? Apa yang gue pengenin sebenernya? Dan yang parah, sampai-sampai tengah malam saya kebangun. Kebangun gitu aja. Melek. Nggak tahu mau ngapain. Terus tiap bangun tidur kayak sedih gitu bawaannya. Ya padahal saya lagi nggak ada masalah apa-apa. Even itu dengan keluarga atau lingkungan.
Eeh, ternyata tanda-tanda di atas itu memang ada benarnya. Buktinya waktu baca tanda-tanda quarter life crisis di IIDN Times, nyaris semua tanda tersebut ada di diri saya. Ih ngeri banget rasanya.
Kasarannya gila ya, umur gue udah 26 tahun. Tapi sampai saat ini bahkan gue nggak tahu apa yang gue pengen. Apa sih yang gue kejar? Kok beda banget dengan suami yang umurnya mau 29 tahun, tapi dia tuh udah tahu mau ke mana. Mau jadi apa. Dan ke depannya bakal kayak gimana.
Tanda quarter life crisis, merasa apa yang dilakukan hampa
Iya selama ini saya ngelakuin banyak hal. Selama ini merasa diri tuh produktif. Tapi apa? Kenapa kian hari, semakin banyak hal yang saya lakuin, justru hati tuh semakin hampa. Kayak kosong aja gitu bawaannya. Dan ini buat saya mengerikan. Saya sampai bertanya-tanya ke Allah. Ya Allah ini tuh kenapa? Saya ada dosa apa? Tapi belum dapat jawabannya.
Saya akhirnya diskusi dengan suami. Dan 98% apa yang dikatakan suami adalah BENAR! Gila ya, kok bahkan dia lebih kenal diri gue dibanding diri gue sendiri. Ya intinya sih, suami bilang, saya tuh udah riuh dengan diri sendiri. Saya butuh diam untuk tenang. Menyelami diri sendiri. Istilahnya, diam di ‘kamar’ sampai ketemu tujuan hidup saya. Sampai kapan? Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Intinya sampai saya sendiri ketemu tujuan yang KLOP dalam hidup saya.
Mengurangi quarter life crisis, menutup semua media sosial
Dan dengan semua itu, saya merasa menutup media sosial adalah langkah awalnya. Berat. Berat banget. Sedih bahkan. Saya mikirin apa yang selama ini sudah saya lakukan, kalau ditutup kayak semuanya jadi sia-sia. Mikirin followers nanti bakal turunlah. Mikirin nanti temen-temen bakal nyariin sayalah. Mikirin orang-orang yang mungkin menunggu postingan sayalah. “Tapi mau sampai kapan?” Tanya suami. Mau sampai kapan saya terus-terusan mikirin orang lain. Sementara saya sendiri kehilangan jati diri? Aduuuh, sampai sini kok jadi pengen nangis sih.
Tapi dengan tekad yang kuat. Akhirnya saya memutuskan untuk minta maaf ke semua grup WhatsApp untuk left. Dan hati saya agak lega. Sekarang informasi mulai terkurangi. Saya sudah mulai bisa berpikir bahwa saya harus menyelamatkan diri sendiri. Saya nggak peduli omongan orang lain. Buat apa capek-capek mikirin kesenangan orang lain sementara kita sendiri kehilangan jati diri. Ih sedih bener deh.
Makanya, saya tuh pengen cepet-cepet kelar semua tanggungan. Karena media sosial yang masih terbuka tuh masih menggoda saya. Butuh tekad yang benar-benar kuat untuk REM diri ini. Rem dari segala aktivitas yang sebelum-sebelumnya saya lakuin.
Berisik dengan arus informasi
Bukannya nggak ada yang berguna. Saya selama ini selalu merasa melakukan hal yang bermanfaat. Bahkan saya selalu berusaha untuk memosting hal-hal yang memang ada gunanya untuk orang lain. Hanya saja saya merasa hampa. Ah nggak tahu deh. Sulit untuk menggambarkan perasaan ini.
Intinya saya sedang merasa berisik. Berisik dengan arus informasi yang udah kayak banjir bandang. Kayak semuanya terasa omongan kosong. Terlalu banyak teori. Ada teori A, saya ikut. Ada teori B, saya jadi pengen coba. Ada teori C, saya merasa semua yang saya lakukan selama ini keliru. Ada teori D, saya merasa diri ini gagal. Ada teori E, F, G, dan seterusnya sampai Z malah bikin saya makin nggak karu-karuan.
Akhirnya timbulnya jadi berdebat dengan suami. Akhirnya timbulnya jadi merasa pintar padahal jelas salah karena kondisinya berbeda dengan si pembuat teori. Iya dengan kata lain saya belum bisa menyaring informasi!
Saya butuh healing. Tenang menyelami diri sendiri
Di sini saya langsung ingat pelajaran emotional healing bareng Mas Adjie. Salah satu yang disampaikan di awal oleh Mas Adjie memang langkah awal mengurangi media sosial. Untuk orang seperti saya yang belum bisa menyaring, rasanya langkah ini cocok untuk diri saya. Walaupun belum bisa mengurangi sepenuhnya, setidaknya dengan tidak adanya grup yang banyak, saya agak lebih tenang. Makanya pengen cepat-cepat, benar-benar ditutup semua.
Saya pengen tenang. Pengen menikmati dunia nyata lebih nyata. Dan nggak mikirin “apa kata orang lain” terus-terusan.
Buku aja mau saya selektif. Intinya mengurangi informasi. Biar nggak membludak di otak saya yang belum bisa menyaring ini.
Mungkin saya dulu bangga punya empat blog. Saya bangga punya banyak akun media sosial. Saya merasa saya bisa membagi waktu untuk semuanya. Tapi ternyata saya nggak sehebat itu. Saya nggak bisa urus semuanya sekaligus. Semua jadi serba nanggung. Jadi setengah-setengah semua hasilnya. Makanya saya pikir harus ditutup dulu semua. Menenangkan diri. Menyelami diri. Dan mencari tahu akan kemana saya nanti.
Saya malah iri dengan orang yang hanya punya satu, tapi justru bisa fokus. Bisa maksimal. Dan jauh lebih menghasilkan. Jauh lebih bermanfaat. Jauh lebih banyak peminatnya. Ah, mungkin saya harus benar-benar merenung dulu untuk ini.
Semoga quarter life crisis ini tidak lama
Meski belum ditutup semuanya, sekarang saya merasa lebih tenang. Lebih bebas. Lebih bisa fokus di dunia nyata.
Dan bukannya selamanya saya tidak akan buka media sosial. Tetep buka. Hanya saja nggak tahu kapan. Yang jelas sampai pencarian jati diri saya sudah ketemu. Mudah-mudahan pencarian ini nggak lama. Karena saya juga nggak mau selamanya ada di ‘kamar’.
Yang jelas satu hal yang selalu saya sebut. Saya tidak akan menutup blog saya. Sampai kapan pun.
Doakan ya, semoga quarter life crisis ini cepat berakhir. Saya ingin bertemu dengan diri saya sendiri. Dengan Ade yang lebih jelas tujuannya. Dan tahu apa yang mau dilakukan.
Semoga dimudahkan melewati masa ini ya mba.
Aku pernah spt itu dua kali malahan, sblm nikah dan sesudah nikah.
Aamiin Aamiin. Makasih Mbak :’)
Dari kemarin mau japri, tapi ga enak. Khawatir nanti malah bikin rusuh hehe…
Life crisis dalam hal kejiwaan tampaknya ga cuma untuk umur sekian-sekian. Berapapun usia seseorang tetap bisa terkena.
Aku pun, mbak, saat ini lagi puasa whatsapp. Uninstall. Capek rasanya lihat notifikasi terus-menerus yang kadang ga banget dibutuhin. Terlebih di masa pemilu.
Ya udah, entah sampai kapan tahan tanpa WA, but I’ll try.
Semoga segala keburukan segera berlalu, berganti dengan kebaikan. Aaamiiin.
See you soon insya Alloh.
Duh pengen juga rasanya uninstall. Sayangnya keluarga semuanya komunikasi via WA :’)
Aamiin Mbak. Aku sedih banget hehe
I’ve been there. Kadang suka berpikir, gw ngapain aja selama ini kok si ini udah begini, si itu udah begitu, gw masih begini aja?
Tapi kemudian ku teringat, Colonel Sanders juga berhasil buat KFC pas dia sudah lanjut usia. Jadi nggak ada kata terlambat untuk sukses. Everyone has their own timing 🙂
Ah iya. Tidak ada sesuatu yang terlambat :’)
Ini semacam disorientasi ya,Mbak? Semoga dimudahkan perjalanannya dan kembali menemukan titik terang. Aamiin…
Mungkin Mbak.
Aamiin ya Rabbal Alamin 🙂
*peluk erat dulu ah*
Semangat yah Mbakkkk. I know, kedengeran klise rasanya, tapi aku pun juga merasakan hal yang sama dulu. Mungkin sekarang, di umur 27, baru tau mau ngapain. Umur 24-26 tuh kalau aku pribadi jadi rentang umur yang terlalu banyak drama. Kalau seneng bisa seneng banget, kalau sedih bisa sediiiih banget. Berkali-kali ngerasa down tapi InsyaAllah berusaha ngeliat silver lining nya. This won’t take forever. InsyaAllah bakal terlewati dan masa-masa berikutnya akan lebih manis 🙂
Aamiin. Aamiin ya Rabbal Alamin. Terima kasih Mbak semangat dan pelukannya *peluk balik :’)
Hang in there Mba..aku pernah mengalami masa itu..di usia 24-25 tahun juga. Lalu semua sudah cukup jelas di usia 26-27. Eh ndilalah tahun ini mulai galau lagi.
Semoga dimudahkan dan dilancarkan perjalanan mengenal dirinya ya Mba 😉
Aamiin. Semoga Mbak Gifta juga dimudahkan Allah ya 🙂
QLC emang rentan bgt di umur kita gini, bahkan gue udah mempertanyakan tentang jati diri gue sejak lulus sekolah ketika gue nganggur lama dan hidup berasa useless. Gue aja yg masih single, buat me time menyelami diri sendiri aja susah, gue mikir apalagi jadi lo yang udah nikah dan punya anak, karena pikiran sudah terbagi (mikiran anak, mikirin suami, dll). Secara teknis terlihat lebih sulit. Tapi mungkin dengan dukungan suami jadi lebih ringan. Semangat del! Semoga kita bisa lewatin fase ini dengan baik, dan kelak jd org yg lebih baik. Aamiin ya Allah
Aamiin ya Allah ya Rabbal Alamin :’)