Sulli meninggal. Kabarnya, dia bunuh diri. Saya tidak kenal siapa Sulli. Tapi dari media sosial, saya tahu bahwa dia bintang Korea yang terkenal. Isunya adalah dia bunuh diri karena depresi. Sudah jelas ya. Tapi depresi karena alasan netizen, ini sungguh luar biasa.
Sekarang saya tidak akan meremehkan apapun masalah orang. Karena saya akhirnya pernah merasa bahwa saya begitu diremehkan. Masalah saya dianggap masalah kecil. Tidak sebesar orang ‘itu’. Padahal ketahanan dan ujian setiap orang memang beda, kan! Kasarannya, “Anda tidak bisa menyamakan masalah Anda sebagai orang dewasa, dengan masalah saya yang masih anak kecil!”
Orang dewasa melihat masalah anak kecil, YA SEPELELAH. Tapi apa anak kecil itu menganggap bahwa masalahnya sepele? TIDAK. Karena memang ITULAH yang sesuai kapasitas si anak kecil. Ingat kan, bahwa Tuhan menguji umat-Nya sesuai kemampuannya.
Sulli meninggal. Depresi bisa menyerang siapapun
Depresi bisa menyerang siapapun. Dia bisa terlihat bahagia di depan umum. Sangat bisa menyembunyikan apa yang menjadi kesedihan hatinya. Berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Dan dia pintar menyembunyikan masalahnya.
Yang jadi permasalahan adalah ketika ada orang yang menggores hatinya, maka wajar jika dia menjadi amat sangat sensitif.
Dan media sosial, sudah mendekatkan maut itu. Ketika hati tak siap, melihat riuhnya media sosial, terlebih menyerang pribadi kita langsung, habislah pertahanan kita. Rasa diri tak berarti menjadi semakin menguat.
Kita bukan tak sadar masih ada yang lain yang sayang pada kita. Bukan tak sadar bahwa akan ada yang kehilangan kita. Tapi depresi itu yang akhirnya menutup kesadaran diri. Akhirnya kita menganggap bahwa semua akan selesai. Semua akan tutup mulut bila kita tidak ada.
Itu juga yang terjadi pada Sulli. Sebelum bunuh diri, dia selalu tampak baik-baik saja. Sampai kemudian akhirnya terjadilah hal seperti ini. Sulli tak kuat lagi menanggung bebannya. Sulli meninggal. Bunuh diri.
Saya pernah ada di posisi itu. Depresi maksudnya. Meski tidak sekejam apa yang dialami Sulli. Makanya saya paham betul bagaimana media sosial menjadi siksaan bagi dirinya.
Sometimes, social media is enemy
Kita sekadar melihat Sulli hanyalah bintang terkenal. Tidak tahu apa yang terjadi dan menimpa dia. Tapi banyak orang yang menggunakan jarinya hanya untuk membully.
Media sosial itu memang berisik sekali bagi orang yang sedang lemah. Tulisan, foto, komentar, itu semua bisa menambah parah kondisi diri jika tak siap menghadapi.
Betapa sering saya menyebut bahwa media sosial terkadang menjadi musuh. Makanya, di krisis hidup waktu itu, saya memilih menutup media sosial. Karena memang begitulah, rasanya berisik sekali. Riuh. Semua orang seperti berlomba-lomba berbicara. Sampai-sampai saya tidak mendengar suara diri sendiri.
Belum lagi melihat perdebatan orang lain yang saling perang status dan komentar. Bukan saya yang ikut berdebat dan komentar, tapi saya merasa muak melihat itu semua. Jalan satu-satunya adalah tutup, dan saya menenangkan diri sendiri.
Kenapa media sosial terkadang menjadi musuh?
Sudah berapa banyak persoalan yang akhirnya diperkarakan ke pihak berwajib hanya gara-gara status, komentar, atau unggahan orang-orang di media sosial?
Mencaci, berdebat, menyinyir orang lain. Merekam kesalahan orang lain lantas diunggah di media sosial. Saling merasa benar dengan berkata-kata yang menyakitkan hanya karena permasalahan berbeda pendapat.
Hanya gara-gara mendengar atau baca cerita/berita sepotong, langsung disebar. Akibatnya banyak yang termakan hoax bahkan perilaku sendiri jadi ikut-ikutan keliru.
Orang sedang bahagia, diposting, lantas dikomentari yang tidak nyambung. Nyinyir dan kelihatan dengki. Padahal postingannya apa, komennya malah out of topic.
Begitulah dunia media sosial yang terkadang sangat kejam. Kalau tidak kuat iman, lebih baik tutup saja media sosial. Damai. Hidup di dunia nyata dan kembali pada orang-orang terdekat.
Hoax, kebencian telah menghantui media sosial
Apakah si penyebar hoax dan kebencian itu tahu bahwa apa yang mereka tulis, komentari, dan unggah akan berdampak negatif bagi orang lain? Apakah mereka tahu bahwa tulisan dan unggahan mereka bisa membuat seseorang merasa dirinya hancur? Apa mereka peduli jika orang lain mati hanya karena tulisan dan unggahan mereka?
Entah. Atau jangan-jangan memang itulah yang mereka harapkan? Dunia jadi hancur dan mereka yang merasa benar bisa berkuasa? Naudzubillah. Tsumma Naudzubillah.
Makanya, saya pribadi pun sekarang jauh lebih banyak mikir di media sosial. Apa kira-kira ini pantas untuk saya jadikan status? Apa kira-kira komentar saya menyakitkan? Apa kira-kira unggahan saya ini penting? Begitulah. Yang terjadi seringkali saya menghapus status, komentar, dan tidak jadi mengunggah hanya karena merasa itu tidak penting.
Ya, belajar hening ada gunanya juga bagi saya. Setidaknya saya mulai belajar memberi jeda. Berpikir terlebih dahulu.
Jangan lagi ada Sulli-Sulli yang lain
Janganlah. Jangan lagi menyebar berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Dan jangan menebar kebencian.
Jangan juga meremehkan masalah orang lain hanya dari sudut pandang kita. Kita tidak bisa meremehkan apa yang dianggap masalah oleh anak kecil, hanya karena kita merasa diri sudah dewasa. Kita tidak bisa meremehkan besar kecilnya masalah orang lain, hanya karena kita merasa bahwa masalah kitalah yang paling berat sedunia.
Karena semua punya kapasitas. Semua punya batas kemampuannya sendiri.
Layaknya Sulli. Ia hanya butuh didengarkan. Bukan dihakimi, apalagi diabaikan.
Sulli meninggal. Bunuh diri. Kita tentu berharap tidak akan ada lagi Sulli-Sulli yang lain.
Selalu ingat bahwa kita hidup di dunia nyata
Di dunia yang penuh dengan manusia yang banyak bicara saat ini, mungkin ada baiknya sesekali kita belajar diam. Jika tak mengerti, lebih baik diam. Jika tak mau mencari tahu, lebih baik diam. Jika tak mau membaca dan mendengar, lebih baik diam.
Daripada berasumsi, hanya akan menyesatkan diri kita sendiri. Hanya akan melukai perasaan orang lain. Daripada menebar kebencian. Kita hanya akan pelan-pelan membunuh orang lain tanpa kita sadari.
Sejatinya kita hidup di dunia nyata. Janganlah hanya karena dunia maya, hidup kita menjadi hancur atau menghancurkan hidup orang lain.
Selalu ingat bahwa kita masih berpijak di atas permukaan bumi. Kita semua sama. Sama-sama punya akal dan hati. Kita semua sama-sama sedang mengalami ujian kehidupan. Tak ada yang lebih ringan dan lebih berat. Karena yakinlah, Tuhan sudah punya takaran sendiri untuk tahu batas kemampuan umat-Nya.
Ya, kita semua sama.
serem banget ya depresi sampai bunuh diri..harus bijak memang menggunakan media sosial!
Iya Mas. Ngeri efeknya kalo ga hati-hati