“Ya suka-suka gue dong. Yang penting nggak ganggu orang.”
Kalimat ini seakan sudah jadi kalimat sakti zaman now. Nggak salah sih, tapi apa kehidupan kita memang tercipta untuk berbuat suka-suka – dan yang penting nggak ganggu orang?
Kebebasan itu harus disertai tanggung jawab
Saya jadi ingat pelajaran PPKn waktu SD (zaman saya namanya masih PPKn ya). Bahwa yang namanya kebebasan itu harus disertai tanggung jawab. Itu khusus dibahas memang dalam satu bab penuh tentang Kebebasan.
Berarti, dari Sekolah Dasar saja kita memang sudah diajarkan bahwa untuk hidup bebas, kita tidak boleh lupa akan tanggung jawab. Jadi, nggak ujug-ujug kita bebas melakukan apa saja semau kita.
Dalam agama pun kita sudah diajarkan, bahwa petaka bisa terjadi karena kita tidak bisa menjaga perilaku kita. Misalnya saja seseorang memakai obat terlarang. Iya sih, dia tidak ganggu orang. Toh dia pakai juga orang tidak ada yang tahu. Tapi secara tidak langsung, dia sudah menyusahkan keluarganya. Ya orang tuanya, ya mungkin anaknya, ya mungkin pasangannya. Dan yang pasti, dia akan menyusahkan dirinya sendiri.
Sama saja kalau ada yang membuat sensasi di status media sosialnya. Dia memang tidak ganggu orang. Toh dia bikin status di media sosialnya sendiri. Tapi kalau statusnya berubah jadi viral dan banyak orang mengecam dan membully, bukankah keluarganya juga ikut malu? Bukankah dirinya sendiri bisa menjadi rusak mentalnya?
Toleransi tidak mentah-mentah memaklumi
Jadi kebebasan itu memang tidak serta merta ada begitu saja. Hidup kita sudah diatur norma agama dan umum. Sebisa mungkin, jangan sampai kita melanggar norma-norma itu.
Ini nyambung kaitannya dengan toleransi. Toleransi menurut saya tidak mentah-mentah memaklumi setiap perilaku orang lain saja. Selagi kita tahu bahwa perbuatannya memang keliru, maka seharusnya diingatkan.
Kalau menilik arti di Wikipedia tentang toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu (perseorang-an) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain, maka menurut saya menghormati dan menghargai di sini ada landasannya. Ya itu norma agama dan umum tadi.
Misalnya saja, kita bertetangga dengan lain agama. Membiarkan dia beribadah sesuai ajarannya dan tidak mengganggunya, itu sudah bentuk toleransi. Kita menghargai dan menghormati dia sebagaimana dia pun tidak mengganggu ibadah kita. Hidup pun menjadi damai.
Tapi lain hal ketika ada tetangga kita yang mabuk-mabukkan dan bermain judi, maka membiarkannya bukan lagi bentuk toleransi. Sebab itu sudah melanggar norma agama dan masyarakat. Jadi sudah seyogyanya untuk diingatkan dan saling menyelamatkan.
Toleransi ketika kita tahu batasnya
Sampai sini, kalau saya boleh menyimpulkan, toleransi adalah ketika kita menghormati dan menghargai perilaku orang lain selagi perbuatan itu memang tidak melanggar norma. Hidup akan damai bila saling memaklumi seperti ini. Kita mampu menerima perbedaan, tapi juga tahu mana batas-batas yang harus kita patuhi dan tak boleh dilanggar.
Dalam Islam pun sudah diatur. Bila kita melihat kemungkaran terjadi, hal itu harus kita cegah. Sebab itu bukan lagi kebebasan yang bisa ditoleransi, karena sudah di luar batas.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Saya semakin paham, bahwa apa-apa yang sudah diatur dalam norma, itu sesungguhnya bukan baik untuk umat saja. Tapi juga akan menyelamatkan diri kita sendiri.
So, kita bisa saja ngomong, “Suka-suka gue dong.” Kalau kita tahu bahwa perbuatan itu memang baik dan tidak melanggar aturan 🙂
Sekarang sering terjadi ketika kita menegur sesuatu yang melanggar norma2 agama bahkan umum dianggap intoleran. Huftt.
Itulah mirisnya. Kebebasan yang kebablasan 🙁 Semoga kita dilembutkan hatinya.
Setuju, bertoleransi tetap ada batasannya. Bebas beribadah sesuai aqidahnya masing-masing, dan tidak mengganggu satu sama lain.
Iya Mbak 🙂