Sejak kecil, saya punya teman imajiner. Saya ingat sekali, saat SD sepulang sekolah, saat ibu selesai menanyakan nilai-nilai saya di sekolah, tiba-tiba saja saya bicara sendiri. Sejak itulah saya punya teman khayalan. Tapi bukan teman ‘yang tidak bisa terlihat’ itu ya. Bukan. Karena saya memang bukan anak indigo atau anak yang memiliki kelebihan semacam itu.
Saya juga tidak tahu pasti mengapa saat itu tiba-tiba saja saya bicara sendiri. Seolah ada teman yang sedang mengajak bicara. Padahal, ya itu saya sendiri juga yang bicara -_- Seiring berjalannya waktu, saya membuat teman khayalan itu seperti apa yang saya inginkan. Ya, apa yang tidak saya dapatkan dari sahabat atau teman-teman saya, saya menciptakan teman khayalan tadi seperti apa yang saya inginkan. Saat saya sedang down, saya menjadikan dia seperti orang yang bijak yang sedang menasihati saya. Jadi kalau boleh dibilang, saya yang asli adalah yang perilakunya buruk, sedangkan dia selalu memiliki perilaku yang baik.
Tapi saat dewasa, saya mulai menyadari, barangkali setiap orang memiliki hal yang sama. Ya, teman khayalan. Teman yang benar-benar bisa menjadi sahabat. Sahabat yang selalu bijak dan menasihati segala hal tentang kebenaran. Dengan kata lain, kini saya bisa menyebutnya mentor.
Tahu mentor kan? Seorang yang bisa membimbing. Yang ia lebih mumpuni daripada kita. Jika kita ingin ahli di suatu bidang, seringkali kita butuh mentor. Jadi siapa mentor itu sebenarnya? Yap, ialah diri kita sendiri. Ia yang mungkin bisa disebut sebagai nurani. Yang tidak pernah berbohong. Yang perilakunya selalu baik. Meski tidak terdengar, tapi ia selalu bergema dalam diri kita.
Baca: Dialah Sahabatmu
Setiap orang pasti punya mentor ini. Tapi pertanyaannya, berapa banyak yang mendengarkan apa kata mentor? Saat kita melakukan perilaku yang kita sudah tahu menyimpang, sang mentor dengan hangat mengingatkan. Saat kita tahu kita salah, sang mentor dengan lembut memberitahukan kebenaran. Saat kita, saat kita, dan saat kita melakukan apapun, sepanjang waktu, sang mentor akan selalu berbicara.
Namun sayangnya, seringkali lebih banyak dari kita yang mengabaikan sang mentor. Kita justru menunggu saat-saat hidup menjadi lebih keras. Dan selanjutnya kita akan meminta nasihat dari mentor di luar diri kita yang kata-katanya lebih kita dengar. Merasa bahwa mentor di luar itu adalah motivator-motivator hebat.
Yang padahal, semua kata-kata bijak, semua nasihat, sesungguhnya sudah sering kita dengar dari mentor dalam diri. Namun kita justru tidak percaya nasihat itu dan baru percaya ketika mentor dari luar menasihati hal yang sama. Untuk kemudian, kita menyesal karena ternyata semua nasihat yang diberikan adalah nasihat yang sama sekali tidak ada bedanya dari mentor dalam diri. Sungguh ironi.
catatankehidupan.com |
Jika mau disadari, sesungguhnya kita adalah pembelajar. Setiap detik kehidupan selalu ada hal yang bisa kita jadikan hikmah. Atau dengan mudahnya, hal yang bisa kita pahami jika dengan lapang kita mau memperhatikannya. Karena apa, karena sang mentor itu tadi. Mentor dari dalam yang tidak pernah berbohong, selalu bijaksana, dan selalu mengajak pada kebaikan.
Bahkan jika kau mau menyadari, yang sedang membaca tulisan ini adalah kalian yang mentornya sedang berbicara 🙂
Jadi, sudahkah kita mendengarkan apa kata mentor diri kita? 🙂
Karena itu Rasulullah menyuruh kita untuk minta "fatwa" pada hati ya Mbak… Karena biasanya di hati terdalam kita sebenarnya tahu yg mana benar dan salah…
Yap benar, wah terima kasih sudah mengingatkan tentang hal itu Mbak 🙂
kadang juga sering bicara sendiri, diskusi mana yang baik dan harus dilakukan smaa diri sendiri hehe.
itu mentor kehidupan juga bukan ya ?
Iya mbak. Mentor memang begitu tugasnya. Mengingatkan diri sendiri 🙂
Setuju, Mba.
Saya tipe orang yang mengalah kalau ada masalah, maksudnya saya tidak suka memperpanjang masalah karenanya saya suka meyakinkan diri saya untuk sabar dan berkepala dingin.
Seperti mengendalikan diri sendiri.
Jadi terinspirasi bikin artikel tanggapan nih Mba.
Wah monggo Mbak, silakan bikin. Kalo sudah, colek-colek saya ya 🙂
Jadi inget si BingBong teman khayalan si Riley mba 🙂
Siapa tuh Mbak? 😀
Wah…mirip banget denganku, mbak. Bahkan namanya. Dia ini saya anggep kayak teman sharing. Ada efek positifnya sih, kayak kalo akan berbuat kesalahan dia akan spontan ngingetin. Saya sadar betul bahwa itu ya saya.
Efek negatifnya, saat itu saya senang menyendiri, lebih asyik mengkhayal dengan dunis khayalan bikinan saya. Tapi sejak kuliah, dan kerja lama-lama sudah hilang sendiri. 🙂
Hehe iya saya juga dulu suka banget mengkhayal. Tapi setelah menikah ya udah berkurang juga 😀
Padahal sering dibawelin sama hati nurani tapi masih tetep dengerin advice yg real, kemudian ketika saya jalanin, berujung nyesel krn ternyata lebih bener apa kata hati sendiri. habis yg bikin susah itu kalo advicenya dateng dari orang2 yg lebih tua, jadi manut aja.
Hihi. Iya kadang kl udah dibawelin dr luar jd lebih manut ya mbak 😀
hati nurani lebih tahu… yg kita lakukan itu benar atau salah…jangan tentang apa yg dikatan nurani..
Benar 🙂
hati nurani lebih tahu… yg kita lakukan itu benar atau salah…jangan tentang apa yg dikatan nurani..
Setuju. Karena nurani tidaj pernah salah ya Mbak 🙂
hati nurani lebih tahu… yg kita lakukan itu benar atau salah…jangan tentang apa yg dikatan nurani..
Saya pernah juga waktu masih sekolah, namun lambat laun kebiasaan itu hilang mba.
Hihi iya Mbak. Saya pun sekarang udah jarang haha
hihihi samaa..saya dulu juga punya teman khayalan. untuk mengusir kesepian waktu belum punya adik 😀
Yey :))