Kesabaran itu memang berbuah manis ya. Pas saya mau beli satu buku, dan udah milih-milih di salah satu marketplace, cuma saya checkout aja dan belum dibayar-bayar. Saya sabar-sabarin aja sampai minta persetujuan suami. Begitu suami ngeliat, eh nggak sangka beliau setuju dan malah memberi saya opsi supaya bisa free ongkir dengan membeli dua buku. Whuaa! Dan dapatlah saya dua buku 😍 Salah satunya berjudul Chicken Soup for the Soul tentang Kekuatan Memaafkan.
Nah saya mau ngomongin buku itu. Tapi nggak akan review bukunya ya. Karena udah ada blog sendiri itu haha. Saya cuma mau cerita aja di sini.
Saya butuh buku ini!
Jadi menurut pengakuan suami, saya memang membutuhkan buku itu. Saya sih nggak merasa jleb gimana. Karena memang udah merasa sendiri kalau saya memang butuh buku itu (walaupun awalnya memang kepingin tapi nggak begitu karena meringis lihat harganya haha). Ya, saya butuh untuk memaafkan! Memaafkan siapa? Memaafkan siapa saja. Memaafkan masa lalu. Memaafkan segala pengalaman khususnya dengan orang-orang di sekitar saya yang membuat hidup saya sedikit muram di masa lalu.
Hidup saya memang tidak muram-muram sekali sebetulnya. Tapi ada luka-luka yang ternyata masih dipendam dalam hati, yang berefek di masa sekarang. Entah saya jadi niru perilaku orang yang belum saya maafkan. Entah jadi marah-marah nggak jelas. Entah apalagi yang jelek-jeleklah pokoknya. Dan rupanya, itu semua karena saya BELUM memaafkan sepenuhnya!
Menyedihkan? Ya! Saya sempat merasa sendiri kalau sepertinya saya ini mengarah ke stres. Tulisan-tulisan saya yang bijak itu sebagian besarnya adalah kata-kata bijak yang ditujukan untuk saya sendiri. Saya ingin menyembuhkan diri sendiri makanya saya nulis yang bagus-bagus.
Kembali ke buku Kekuatan Memaafkan. Maka saya amat bersyukur dan berterima kasih pada suami yang sudah rela membelikan saya buku ini. Buku ini memang saya butuhkan!
via Pixabay |
Sesungguhnya kisah saya hanyalah remahan rengginang
Baru halaman awal-awal saja saya sudah mau nangis rasanya pas baca kisah-kisahnya. Eh makin ke belakang kok kisahnya makin mengharukan sih. Saya malah merasa saya ini cuma remahan rengginang di pinggir piring. Iya, kisah saya nggak ada apa-apanya dibanding orang-orang yang ada di dalam buku ini.
Mereka disakiti ayahnya, ibunya, pasangannya, teman-temannya sedemikian dalam. Ada yang ditinggal ayahnya begitu saja. Tidak diakui ibunya. Diselingkuhi pasangannya setelah puluhan tahun menikah. Dikecewakan temannya sampai membuat trauma yang mendalam. Saya mah apa atuh, nggak mengalami itu semua. Cuma kesalahan-kesalahan kecil orang lain yang saya buat dramatis sendiri. Cuma luka kecil yang ibarat nasi di ujung jari bisa dimentalkan begitu aja sebetulnya. Tapi kok ya, saya dalam-dalamin sendiri lukanya hiks.
Memaafkan itu dimulai dari diri sendiri
Maka begitulah buku ini memberi saya pemahaman. Bahwa memaafkan itu mudah kok. Perjalanannya memang tidak instan. Tapi ketika kita mau berpikir lebih dalam, sesungguhnya tidak memaafkan justru membuat kita terbelenggu sendiri. Kita mengikat diri sendiri dengan ikatan yang kuat yang membuat kita sesak sendiri. Sedangkan orang yang kita tuduh atau telah melukai kita, mereka justru menjalani hidupnya seperti biasa, tanpa beban, atau bahkan tidak memikirkan kita di sini yang pernah terluka karenanya.
Terdengar menyedihkan? Memang. Wajar kalau habis baca buku ini saya jadi merasa kasihan pada diri sendiri haha.
Eh eh, tapi gimana caranya bisa memaafkan? Mudah. Ya fokus aja dengan kehidupan sekarang. Kalau kata suami saya, past be the past. Masa lalu adalah masa lalu. yang udah ya udah. Mau diapain lagi. Dan akhirnya saya paham juga kata-kata “hidup di masa kini” yang selalu digadang-gadangkan Mas Adjie Silarus.
Kita manusia memang bisa terluka. Tapi kita juga nggak bisa selalu mengontrol orang lain untuk bersikap. Dan sebetulnya kita bisa memilih sendiri. Mau melanjutkan hidup atau tidak. Kalau mau hidup tenang ya terima apapun masa lalu kita. Maafkan orang-orang yang pernah melukai hati kita. Sesungguhnya hal ini bukan semata untuk memaafkan mereka. Bukan juga supaya kita bisa mencintai mereka lagi. Tapi justru untuk MEMBUAT HIDUP KITA SENDIRI LEBIH RINGAN. Lebih mantap berjalan ke depan. Supaya kita nggak terbelenggu lagi. Nggak bawa beban yang berat untuk menjalani hidup. Begitu kira-kira.
Belajar memaafkan
Lantas, apa setelah ini saya mulai bisa memaafkan? Iya, saya lagi belajar. Pelan-pelan berjalan di masa sekarang. Menerima apapun masa lalu yang udah lewat. Menerima kesalahan masa lalu dengan memaafkan diri saya sendiri. Semoga dengan begini, hidup saya ke depannya bisa lebih tenang. Nggak kepikiran yang jelek-jelek lagi hehe. Doain ya 😁
Kalau teman-teman mau belajar memaafkan juga, saya benar-benar merekomendasikan buku ini. Saya rasa buku inilah yang justru dibutuhkan oleh kita. Karena langkah hidup itu sesungguhnya dimulai ketika kita bisa memaafkan. Memaafkan apapun. Baik orang lain, dan termasuk memaafkan diri kita sendiri.
Jadi, apakah kamu siap menjalani hidup ini dengan tenang? 😉
Serasa dpt percikan air ,, pas bgt lg kesel2nya sm org dpt reminder lewat tulisan ini,, nice post
Terima kasih Mas. Semoga hatinya nggak kesel lagi hehe
Aku juga pernah dengar cerita mbk, bahwa ada seseorang yang punya kebiasaan sering datang ke masjid lebih awal, kemudian sebelum sholat ia selalu mengingat-ingat kesalannya dan kesalan orang lain. kemudian ia belajar untuk memaafkan itu semua. Tapi, ending nya saya lupa. seingat saya, dia benar-benar menjadi orang yang Sukses.
Kuncinya belajar memaafkan. Nice infonya mbk..
Wah bisa dipraktekkan tuh hihi. Diinget trus dimaafkan ya :')
maafkan seseorang tidaklah mudah, kita juga banyak dosa. bagiku maafkan orang lain agar kita ingin di maafkan orang lain suautu saat nanti
Betul Mbak. Berlaku hukum timbal baliklah ya 🙂
Memaafkan orang lain dan diri sendiri bukan saja membuat hidup bahagia tetapi menyembuhkan penyakit di tubuh kita, dan yg lebih penting lagi kita juga mendapat pengampunan dari Tuhan di Sorga