Tema collaborative blogging kali ini agak berat menurut saya. Tentang pilkada DKI yang ditulis oleh Mak Adriana Dian. Memang nyaris setiap timeline media sosial saya saat ini juga dipenuhi dengan serba-serbi pilkada DKI. Sejujurnya saya sudah malas menulis soal pemilihan seperti ini. Selain saya memang tidak suka bidang politik, saya juga merasa seperti dejavu ke pemilihan presiden Juli dua tahun silam. Semuanya masih terasa ribut.
Entah faktor media sosial atau memang ini pemilihan pemimpin di kota yang paling penting di negara kita, yang jelas masih sama seperti dua tahun lalu. Saling mendukung, saling membaguskan calonnya. Sampai sini sih masih aman. Yang tidak aman kalau rasa cinta pada sang calon sudah berlebihan bahkan sampai menjelek-jelekkan calon lainnya. Belum lagi jika sampai menyebarkan berita yang entah apa bisa dibuktikan kebenarannya atau tidak.
https://image.shutterstock.com/display_pic_with_logo/180313/124029454/stock-photo-newspaper-headlines-shown-side-on-in-a-stack-of-daily-newspapers-124029454.jpg |
Baca: Stay Smart, Kawan!
Baru saja minggu lalu saya menulis kutipan yang diambil dari buku Tiada Ojek di Paris. Berita penting yang mana pun tidaklah akan lebih penting daripada hidup kita sendiri. Hidup ini indah dan dunia penuh makna, tapi jika diskursus kita terkuasai oleh formasi diskursif media, yang telah bergerak mencengkeram sejak ritus berita pagi – apakah salah jika saya katakan bahwa kita ini orang yang rugi? Padahal kita cuma hidup satu kali. Ya, semua bisa dimanipulasi oleh media. Dan kita yang bersikap berlebihan bisa saja menjadi orang yang rugi, yang istilah kasarnya mau saja dibodohi oleh media.
Cinta yang berlebihan
Saya juga sempat melihat foto calon pemimpin yang justru terlihat kompak dan membaca sebuah berita Pilkada DKI yang memiliki harapan kerukunan. Di sana tertulis Pak Anies yang memposting foto selfienya berujar “Kami ingin tunjukkan kepada semua bahwa ini sebuah festival. Festival gagasan, festival karya, festival rencana. Ini bukan arena pertempuran.” (sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/26/08134391/foto.selfie.dan.harapan.kerukunan.saat.pilkada.dki.2017) Nah kalau mereka saja kompak, mengapa justru para pendukungnya yang heboh?
Kita memang punya hak untuk mendukung. Tapi jangan sampai kita justru dibutakan oleh rasa cinta berlebihan dengan menjelek-jelekkan calon lainnya. Dengan kata lain bersikap fanatik.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalab sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Selamanya rasa cinta yang berlebihan tidak akan baik. Telah banyak contoh dari seorang tokoh yang sangat dicintai. Namun begitu sang tokoh melakukan satu kesalahan, maka buyarlah rasa cinta itu. Yah, berharap pada manusia memang akan selalu kecewa. Sebab kita tidak bisa luput dari kesalahan. Maka begitu halnya calon-calon pemimpin saat ini yang pasti memiliki satu dua kekurangan.
Well, kita paham bahwa negara butuh pemimpin yang adil dan bijaksana, yang – pokoknya ideal lah. Tapi semoga kita bisa bersikap bijak. Semua calon yang ada pasti sudah melewati berbagai pertimbangan. Tinggal pilihannya ada di tangan kita. Daripada menyebarkan berita dan membuka kejelekkan calon lainnya, lebih baik berdo’a saja. Semoga semua calon yang ada itu baik. Dan kita punya kesempatan memilih salah satunya.
Dan siapa pun yang terpilih nanti, semoga bisa menjalankan amanahnya dengan baik dan yang pasti sesuai dengan janji-janjinya 🙂
Banyak yang dengan mudahnya terpancing, sampe sedih banyak jg yang sampe bawa2 sara 🙁
Iya mbak hiks. Ga enak ya dilihatnya 🙁
Wahhh, udah tayang ajah nih tulisannya Mba Ade 🙂
setuju banget Mba, mencintai dan membenci sesuai kadarnya yah 🙂
Yess Mak 😀
Sosial media memainkan peran penting dalam menciptakan image pasangan calon ya mba
Nah itu, sosial media jadi punya peran 🙂
Yup, saya setujuuuu sekali. Sebagai warga DKI, saya merasa resah dengan hujat menghujat di medsos. Mereka yang "kontes" aja ngopi bareng, kenapa yang milih malah "perang". btw, salam kenal ya mbak 🙂
Hihi mending ikut ngopi ya 😀
Salam kenal juga Mbak ^^
Postingannya bagus banget. Betul, gak peduli siapapun yg kita pilih, tapi sebagai generasi muda yg cerdas dan berbudaya, kita ga boleh ikut-ikutan menghujat atau black campaign
Ayo berdemokrasi dengan positif, demi Indonesia yg lebih baik =)
Terima kasih 🙂 setuju. Demokrasi positif 🙂
ciye yang mau pilkada
Jadi pemilih yang bijak ya mak, jangan terlalu fanatik sama calon C, D atau lainnya.
Betul Mak 🙂
kalau cinta mending fokus ungkap kelebihan2 calon yang kita cinta itu yaa daripada ngejelekin calon lainnya 😀
Nah setuju banget itu Mbak 😀
Tahun ini, saya betul-betul memutuskan enggak mau tahu urusan Pilkada DKI, Kak. Lha wong enggak milih juga karena enggak punya KTP DKI, hehehe,
Saya pun ga milih. Wong KTP Bekasi malah 😀
Pengen ikutan pilkada ..kalau bisa 😀 sayang saya jauh dan bukan warga DKI juga…kayak dolanan gitu pilkada DKI
Wahaha. Di Denmark ada ga pemilihan gitu? Apa namanya ya? 😀