Zaman makin ke sini rasanya semakin mengerikan. Maksiat sudah terang-terangan. Bahkan saya iseng ngecek Twitter sekilas malah nemu status tentang ‘jatah mantan’. Jadi sebelum si perempuan/laki-laki menikah, mereka “minta ‘jatah’ ke mantannya”. Iyuh j*j*k! Hadeh belum sanggup deh saya install Twitter lagi di hape.
Belum lagi, baru-baru kemarin ada podcast dari seorang terkenal yang bahas LaGiBeTe. Sontak aja langsung diserbu dan podcastnya dihapus. Tapi namanya udah kadung tayang di internet, yaa sudah nyebarlah videonya kemana-mana. Jadi semacam nggak ada gunanya dihapus. Gitulah kalau bikin tanpa dipikir-pikir dulu.
Yang ada di nomor satu ternyata bukan cinta
Sedih banget. Kenapa ya makin begini. Bikin saya jadi mikir, bahwa yang ada di nomor satu itu ternyata BUKAN cinta!
Kalau di nomor satu cinta, maka soal ‘jatah mantan’ tadi akan dibenarkan. “Oh aku cinta sama dia. Tapi karena nggak bisa menikah sama dia, aku jadi minta jatah aja.”
Kalau di nomor satu cinta, maka soal cinta sesama jenis akan dibenarkan. “Aku cintanya sama dia kok, yang sama-sama laki-laki. Apa boleh buat.”
Kalau di nomor satu cinta, maka seks sebelum menikah pasti terjadi. “Aku cinta sama pacarku. Maka aku berikan segalanya.”
Kalau di nomor satu cinta, maka istri yang tidak melakukan sholat akan dibiarkan suaminya. “Aku cinta istriku. Kalau dia tidak mau sholat, biarkan saja.”
Kalau di nomor satu cinta, suami yang mencuri dan korupsi akan dibenarkan. “Istri dan anak-anakku kelaparan. Istriku butuh biaya hidup untuk bersosialita. Maka kuambil uang yang bukan hakku demi memenuhi kebutuhan istri dan anak-anakku, karena aku cinta mereka.”
Wah masih panjang kalau mau dibuat listnya.
Apakah cinta cukup dengan membahagiakan?
Meski nggak pernah ada definisi yang pasti tentang cinta. Tapi mari kita simpulkan saja jika cinta adalah sikap kita untuk membahagiakan orang-orang di sekitar kita.
Tapi ternyata, membahagiakan saja tidak cukup bukan? Kita adalah manusia yang hidup dengan batas norma. Kalau tidak punya norma, maka habislah dunia. Saling berebut dan perang demi memenuhi kebahagiaannya sendiri-sendiri.
Lantas apa norma kita? Agama. Iman. Ya, saya baru sadar, ternyata imanlah yang ada di nomor tertinggi. Bahkan di atas segala-galanya.
Kalau kita punya iman, kita tahu bahwa seks sebelum menikah tidak dibenarkan. Ini bukan saja perintah Tuhan. Tapi Tuhan tahu lho, dampaknya seperti apa. Buktinya ada berapa resiko yang dihasilkan jika melakukan seks tanpa ikatan pernikahan. Ya hamil, sampai terkena penyakit menular semacam HIV *naudzubillah. Ditambah dengan reputasi dan masa depan yang hancur *tsumma naudzubillah.
Kalau kita punya iman, kita tahu bahwa yang terbaik adalah mencari pasangan lawan jenis. Begitu banyak penyakit jika memaksakan dengan sesama jenis. Bahkan terjadinya pelecehan seksual.
Kalau kita punya iman, jika suami/istri kita keliru, kita pasti akan meluruskan. Itulah cinta yang sesungguhnya. Membawa ke jalan yang benar.
Kalau kita punya iman, jalan yang halal dan diridhoi olehNya itu pastilah yang akan kita utamakan.
Jadi kasarannya, jika kita masih mengatasnamakan cinta namun dengan sikap-sikap yang keliru, bisa jadi itu bukan cinta. Tapi hanya nafsu. Dan memang nafsu ini juga kodrat kita. Makanya posisi tertinggi bukanlah cinta.
Lantas apa yang ada di nomor satu?
Iman kita kepada Tuhan. Iman kita kepada Allah.
Iman yang akan mengerem hidup kita. Iman yang akan mengerem sampai batas mana kita tahu bahwa sesuatu dibolehkan dan tidak. Iman yang akan mengerem kita untuk tahu mana yang boleh dilakukan dan tidak. Dan iman yang akan memberi tahu kita apakah itu cinta yang sesungguhnya atau nafsu belaka.
Kita disuruh beriman juga bukan tanpa sebab. Karena Allah Maha Tahu segalanya. Allah tahu lho yang terbaik untuk kita. Allah tahu lho yang ini tidak baik untuk kita. Maka perintah dan larangan itu ada sebabnya.
PerintahNya untuk menyelamatkan hidup kita. LaranganNya karena Dia tahu ada berbagai macam resiko berbahaya yang bisa mengancam hidup kita. Kalau kita memaksa menerobos larangan dan tidak menjalankan perintahNya, kita pasti tahu sendiri jawabannya.
Kalau kata suami saya, “Cinta adalah bagian dari Iman.” Ada benarnya ya. Hanya bagian lho. Berarti memang iman yang harus kita utamakan. Sama halnya dengan “kebersihan sebagian dari iman.” Karena ada iman makanya kita dianjurkan untuk bersih. Karena ada iman makanya ada cinta yang benar.
Semoga kita selalu berada di cinta yang benar. Cinta yang benar-benar lurus. Yang benar-benar tidak keluar dari koridorNya. Yang tidak menerobos laranganNya. Karena sesungguhnya Tuhan benar-benar dekat sedekat urat nadi kita.
Jujur saja pada diri sendiri, jika kita memaksa mencintai hal yang salah, nurani kita PASTI berbicara. Bahkan pasti berteriak. Tinggal kitanya saja, yang mau membuka ‘mata dan telinga’ kita atau tidak.