Saya nggak pernah tahu kalau saya mengidap Hard of Hearing sebelum bertemu dengan Mbak Widi Utami. Jadi ceritanya waktu itu Mbak Widi membahas di status Facebooknya bahwa dirinya adalah seorang Hard of Hearing. Dan setelah baca, saya baru ngeh “Lah, ini kok sama ya kayak aku.”
Hard of hearing berbeda dengan tuli
Saya lupa isi statusnya, tapi dari situ saya tahu, oh selama ini saya nggak sendiri toh!
Dari kecil saya selalu menganggap diri saya normal. Saya nggak pernah merasa saya tuli. Wong saya masih bisa denger kok. Wong saya juga ngomongnya normal. Saya malah nggak ngerti sama sekali bahasa isyarat.
Dan nyatanya memang tuli dan hard of hearing itu beda.
“Istilah ‘sulit mendengar’ sebenarnya bukan diagnosis medis melainkan cara untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kesulitan dengan pendengaran mereka,” kata Rhee Rosenman-Nesson, AuD, pendiri Hearing Doctors of New Jersey, mengatakan kepada WebMD dikutip Kamis (13/1/2022).
sumber: https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4858371/hard-of-hearing-berbeda-dengan-tuli-ini-gejala-dan-penanganannya
Keluarga saya juga nggak pernah menganggap bahwa itu sesuatu yang khusus dan serius. Ya cuma susah denger aja gitu.
Keluar cairan di telinga dari kecil
Dari kecil telinga saya memang langganan keluar cairan. Sampai capek kayaknya bolak-balik ke dokter THT. Dikasih obat tetes yang rasanya panas di telinga.
Hanya itu yang bisa ayah ibu lakukan. Karena memang menganggap telinga saya hanya kemasukan air.
Tapi cairan itu nggak pernah berhenti total. Kambuh-kambuhan. Apalagi kalau flu. Dan bikin pendengaran saya berkurang. Bahkan tidak ada cairan pun, saya masih harus selalu melihat gerak bibir seseorang agar saya mengerti mereka bicara apa.
Saya malu sekali rasanya. Dulu malah sempat dibully “budek”. Bahkan pernah juga ‘dighibahi’ oleh teman-teman dan diam-diam melihat mereka yang melirik-lirik saya, sedih sekali.
Di keluarga cuma saya yang begini. Sampai saya mikir “Kenapa ya harus aku. Apa aku terlahir memang berkebutuhan khusus.”
Tapi sepanjang tahun bahkan sampai menikah pun saya selalu berusaha untuk menormalkan diri. Kalau misal saya nggak dengar orang bicara apa, dan orang itu nanya “Kamu ngerti nggak.” Saya selalu jawab ngerti! Padahal saya nggak tahu dia ngomong apa.
Pas baru pindah ke Surabaya dan berkumpul dengan tetangga malah saya selalu jawab nggak ngerti. Padahal bukan karena nggak ngerti bahasa Jawa, tapi karena memang nggak denger mereka ngomong apa (tapi saya nggak mau ngaku).
Di forum saya selalu berusaha buat fokus. Kalau nggak dengar, saya selalu minta orang di sebelah untuk menegaskan obrolan si pembicara. Tapi kan saya malu kalau terus-terusan minta diulang-ulang 😀
Di awal menikah malah suami sempat marah besar karena saya nggak dengar pas beliau panggil. Beliau juga selalu mikir saya ini kurang dengar karena saya nggak fokus. Masa sih?
2019 memutuskan untuk periksa ke dokter THT
Saya sudah bilang dari kecil bolak-balik dokter THT. Tapi sekalipun dokter nggak pernah ngomong bahwa ini masalah yang serius. Tiap kali datang saya hanya diberi obat tetes untuk mengurangi cairan.
Tapi 2019 itulah yang terparah. Cairan di telinga sampai tumpah-tumpah. Setiap kali saya miring, maka cairan itu plung, jatuh. Iya segitu gampangnya.
Saat itu, saya benar-benar tidak bisa dengar orang ngomong apa. Lebih parah dari biasanya pokoknya. Harus dekeeet banget baru saya tahu. Atau saya harus benar-benar bisa baca gerak bibirnya.
Suami mutusin buat bawa saya ke dokter THT. Cerita lengkapnya bisa baca saja di postingan Aku Nggak Mau Masuk Ruang Operasi Lagi.
Akhirnya menemukan ABD (Alat Bantu Dengar)
Saya nggak mau operasi lagi. Apalagi operasi itu tidak menjamin keberhasilan dan malah beresiko besar. Gimana kalau saya malah kehilangan keseimbangan.
Akhirnya suami memutuskan agar saya mencari Alat Bantu Dengar. Sempat dibelikan yang murah, tapi ternyata nggak bekerja dengan baik. Yang ada malah berisik kresek-kresek doang wkwk.
Dibelikan yang beneran, Alhamdulillah ngebantu. Berbekal dengan tes audiometri yang sudah saya jalani dan hanya konsul via online, alat itu sampai juga di genggaman saya.
Jadi ya sampai sekarang saya tertolong banget dengan ABD ini. Kasarannya saya nggak bisa hidup tanpa ABD.
Pelan-pelan bisa beradaptasi dengan suara normal
Setelah pakai ABD, “Oooh begini toh jadi orang normal” wkwk. “Wah orang normal bisa ya denger suara yang jauh. Oh dia ngomong itu. Oh kedengeran banget suara detik jam.” Ya gitu-gitu wkwk.
Dan baru ini saya berani cerita secara publik. Dulu-dulu mana pernah berani. Takut dibully, takut dijauhin, takut nggak ada yang mau temenan sama saya. Bahkan pernah juga berpikir jahat, “Lebih mudah menemukan orang yang mau menuntun orang buta daripada bertemu dengan orang yang mau mengulang pembicaraannya.”
Tapi sekarang saya mikir, dengan adanya Mbak Widi, dan beberapa pengidap HoH yang saya temui di media sosial, ternyata dengan saya tertutup, justru bikin orang malah menjauh. Karena saya pura-pura ngerti padahal enggak haha. Tapi kalau saya jujur, orang mungkin jadi bisa memaklumi.
Apa saya malu dengan kondisi Hard of Hearing?
Apakah saya malu karena Hard of Hearing? Sebelumnya iya. Karena ini tuh nanggung. Denger enggak, nggak denger sama sekali juga enggak haha. Dari luar pun saya sangat terlihat normal.
Tapi sekarang ya udahlah, ini memang sesuatu yang harus saya terima. Dan ternyata kondisi HoH ini memang ada. Dan yang pasti saya nggak sendirian lho.
Meskipun saya akui pakai Alat Bantu Dengar terkadang masih ada missnya. Tapi dibanding ketika saya belum pakai, ini sudah jauh lebih baik. Dan saya nggak harus terus menerus hanya pura-pura mengerti. Tapi saya beneran mengerti. Dan masih di tahap yang wajar kalau sesekali meminta orang buat mengulangi pembicaraannya.
Di sini saya juga mau mengucapkan secara khusus terima kasih untuk suami yang selalu mendukung saya. Dan percaya bahwa saya ini bisa kok. Saya tidak rendah. Saya ini normal. Dan saya tetap bisa bergaul dengan siapa saja.
Keuntungan Hard of Hearing
Lho ada ta untungnya? Wkwk. Ada dong. Setelah pakai ABD dan merasakan jadi ‘orang normal’, saya jadi ngerti bahwa ternyata HoH ini ada hikmahnya kok.
Saya bisa merasakan hening dengan hanya lepas ABD. Benar-benar nggak ada suara. Nggak ngerasa berisik jadinya. Saya nggak perlu dengar kalau ada yang ghibahin saya. Saya nggak perlu dengar kalau misal orang ngomong yang buruk. Ya karena memang saya nggak dengar wkwk.
Saya memang pernah bertanya-tanya mengapa Allah menurunkan ‘keistimewaan ini pada saya. Tapi sekarang saya lebih memilih menerima. Karena ini memang kondisi yang pasti sudah sesuai dengan takaran saya. Kan Allah nggak menguji umatNya di luar kemampuannya ya.
Jadi, kalau misal pembaca mungkin ada yang seperti saya, yuk kita bergandeng tangan. Bahwa kita nggak sendiri lho.
Mungkin kita bisa membuat orang sedikit emosi. Tapi lebih baik kita jujur saja kalau kita ini memang berbeda. Dan alih-alih meminta orang mengulang-ulang pembicaraannya, mungkin kita minta lewat tulisan saja :’)
Kalau ada yang mau tahu kehidupan seorang HoH seperti apa, atau ada pertanyaan, teman-teman bisa komen ya. Kalau misal kira-kira banyak, nanti mau saya buatkan kategori khusus HoH ini 🙂