credit |
“Sabitnya indah ya. Seindah potongan hatiku yang terbang entah kemana dan menyisakan potongan yang kini tak berbentuk.”
“Maksudmu?”
“Kau sungguh beruntung kawan, keluargamu bahagia. Cinta yang kau miliki sempurna bertepuk tangan. Kau juga tidak kekurangan materi. Karirmu berjalan dengan mulus.”
Hening.
Kehidupan ini bukan tentang siapa-siapa. Hanyalah diri kita sendiri. Baiknya kita, buruknya kita, pada dasarnya semua hanya untuk diri sendiri. Baik akan memantulkan keuntungan meski tak pernah diduga. Buruk akan menghasilkan kesusahan yang jarang kita sadari.
Berapa kali kita dengan angkuhnya mengakui kebahagiaan yang kini kita dapatkan adalah hasil jerih payah kita lalu melupakan-Nya. Tak terhitung larutnya kita dalam kegundahan berkepanjangan dan sayup-sayup menyalahkan takdir-Nya, untuk kemudian berkata, “Mereka jauh lebih beruntung.”
Rupanya kesombongan bukan saja perkara harta, tahta ataupun cinta. Ia telah merangkak masuk ke dalam kesedihan yang banyak orang perebutkan.
“Aku jauh lebih sedih. Kesedihanmu tak ada apa-apanya.”
“Halah, cuma gitu kok. Aku ini yang harusnya lebih sedih.”
Hingga lalai bahwa di dalamnya mengandung rasa ingin dilebihkan. Diakui untuk kemudian meminta penghargaan dengan dukungan kalimat, “Oh, iya ya.” Sedikit kabar baiknya, itu bisa menjadi pemacu temanmu bersyukur. Lebih banyak kabar buruknya, kau semakin hanyut dalam perasaan sedihmu.
Dan terakhir, jawaban untuk keheningan di atas,
“Kesedihanmu tak separah yang aku rasakan sebenarnya.”
“Hah, maksudmu?”
Hening.
iya setuju, kadang merasa lebih sedih, lebih susah..itu secara ga sengaja sudah termasuk sombong..ingin merasa lebih dari org dan merasa "hebat" krn bisa ngatasi sedih yang lebih dari org…
Setuju juga 🙂