https://pixabay.com/en/mobile-phone-smartphone-keyboard-1917737/ |
Hehe lucu ya. Media sosial memang semakin meraja, tapi juga semakin banyak karakter yang kita temukan di sana. Dan karakter yang banyak itu tidak semuanya sama. Ada kalanya kita memang suka, ada kalanya kita temukan orang-orang yang berbeda sudut pandang. Ya, this point, sudut pandang!
Isi kepala manusia tidak sama. Belum lagi saat kita ingin update status, pertanyaan dalam kolom status adalah “Apa yang Anda pikirkan?”, maka wajar saja kalau setiap orang punya pikirannya masing-masing. Tapi tidak lupa juga, bahwa di bawah kolom status yang sudah kita update, terdapat kolom komentar yang lagi-lagi setiap orang berhak untuk mengomentari isi pikirannya terkait status kita.
Resiko untuk dikomentari
Pertanyaannya sekarang, seberapa bijak kita sudah menggunakan keduanya? Update status dan komentar? Suami saya pernah bilang, kalau berani masuk media sosial, maka kita juga harus berani menanggung resikonya. Kalau berani update status, maka kita harus siap dengan segala komentar yang masuk. Kecuali jika statusnya memang kita privacy. Pun halnya jika kita mengomentari sesuatu, kita harus siap dengan jawaban si pembuat status.
Termasuk juga dengan berita atau segala hal yang kita share, dan foto-foto yang kita upload. Semua memiliki resiko untuk dikomentari. Kembali ke kalimat atas, “kalau tidak mau dikomentari, ya jangan dimasukkan ke medsos!” itu wajar, karena memang begitu adanya kok. Sekali lagi, jika tidak mau dikomentar, ya diprivat saja.
Komentar di ‘lapak’ orang lain
Selanjutnya tentang komentar di ‘lapak’ orang lain. Seberapa penting sih kita harus memberi komentar pada status, berita, atau foto yang dibagikan orang lain? Dan seberapa perlu kita untuk menunjukkan ketidaksetujuan kita pada orang lain? Melihat ada foto bayi yang sedang minum pakai dot dikomentari dengan menjudge. Melihat orang upload foto wallpaper dinding yang dipasangnya, kita komentar iri. Sampai melihat orang memasang status dan foto liburannya kita komentar tidak suka. Dan seterusnya yang menunjukkan ketidaksukaan kita.
Yang miris terkadang komentar kita justru disanggah, dan kita pun balik menyanggah, dan berujung menjadi perdebatan. Hal inilah yang barangkali akhir-akhir ini sering kita lihat.
Tidak semua di media sosial perlu kita tulis, upload, dan komentari
So, siapa sebenarnya yang salah? Tidak ada! Ya, tidak ada yang salah! Baik si pembuat status, pembagi berita atau foto, ataupun pemberi komentar. Segala hal yang sudah kita bagikan, semuanya memiliki resiko untuk dikomentari. Dan tidak semua komentar menyetujui.
Lalu tentang komentar, tidak penting bagi kita untuk menunjukkan setiap perasaan kita. Kalau tidak suka, kita punya banyak pilihan. Lewati, unfriend, unfollow atau unlike. Selesai perkara. Dibanding kita menunjukkan ketidaksukaan kita, Yang seringnya hanya membuang waktu percuma, belum lagi jika terjadi perdebatan.
Bahkan, saya pernah menonton sebuah acara di Benang Merah yang menampilkan buzzer-buzzer gelap yang pekerjaannya memang untuk membuat orang agar berdebat. Semakin banyak yang muncul dalam perdebatan itu, maka semakin untung besar pula si buzzer. Naudzubillah. Mereka di sana bisa berpenghasilan besar, kita yang debat justru saling merusak pikiran dengan menanggapi hal-hal yang sebenarnya tidak penting daripada kehidupan nyata kita bahkan bisa merusak pertemanan atau persaudaraan. Naudzubillahimidzalik >_<
Inilah. Intinya, media sosial dikembalikan lagi pada kita masing-masing. Kita harus menyadari semua yang kita tulis dan masukkan di sana semua punya resiko. Kalau tidak sanggup menghadapinya, lebih baik berpikir dua kali untuk membagikannya.
Demikian pula komentar. Tidak semua perlu kita komentari. Media sosial hanyalah dunia maya yang kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya di belakang kita. Maka hanya jadi percuma jika kita di sini menunjukkan perasaan iri atau tidak suka kita. Karena sekali lagi, kita punya kehidupan yang lebih penting, yakni kehidupan yang ada di dunia nyata kita 🙂
Saya juga paling menghindari perdebatan di dunia Maya Mbak. Ga suka ya skip aja, beres 🙂
Sip. Saya juga begitu hehe
Setuju, begitu juga dengan yg saya terapkan ke keluarga, tidak smua perlu kita komentari dan apabila tdk siap dgn sanggahan ya jgn komen, itu saja..Salam dan terima kasih
Sama-sama. Keluarga pondasi utama ya Mas 🙂
Iya. Padahal adakalanya upload foto untuk nyimpen foto aja/dokumentasi, sama sekali nggak maksud pamer ato apa..
Kadang dinegatifin ya hiks
Gimana perilaku kita di dunia maya, menunjukkan kita gimana di dunia nyata..jangan sampai deh kita hobi nyinyir di sosmed, ketahuan dengkinya hihi..
Aamiin. Jangan sampe ya 🙂
Paling suka dengan situasi no komen aja hehe klau kata suamiku tipe begituan cari aman aj hehe..mending gitu karwna aku suka gak nhan sam keributan
Saya juga tipe cari aman Mbak 😀
Kadang bukan ga suka, malahan bosen kebanyakan buka medsos, secukupnya ajalah ^o^v
Iyap. Yang berlebihan emang ga baik ya hehe
Yang terpenting itu posting yang bermanfaat ya Mbak? ^^
Betul Mbak. Yang bermanfaat pun kadang tetap dikomentari kok 😀
Setujuuu mbak. Aku sangat menghindari komen di artikel2 yg ga sesuai dgn pemikiranku, ato banyak menimbulkan pro kontra. Kalo ketemu yg begitu di medsos ku, biasanya lgs aku delete, ato unfriend, bahkan block kalo artikelnya kelewatan. Ga usahlah pake di komen2 segala, malah makin kaya yg punya lapak ya mbak :p
Yes, saya pun lebih milih skip aja. Kalo kelewatan baru unfriend atau block 🙂
aku paling gimanaaa gitu kalo ada temen yg komentar di laapkku, tapi gak ada hubungannya sama apa yg aku posting. hihi
Aku juga ga suka kalo begitu. Apalagi di blog. Makanya kutulis thankyou for not comment OOT 😀
Salam kenal mb, kunjungan perdana. Hahaa bener banget ya bahkan walau dengan tidak meninggalkan komen di sosmed kita pun orang-orang jadi kepo dan bahan gosip di belakang kita, serba salah yes. Haha masak iya sharenya yang sedih2, marah2 ntar dikira masih childish. Paling enak emang komen di blog hahaha bisa panjang kali lebar and dapat sesuatu daripada sekedar baca status
Setuju Mbak 🙂
Betul Mbak 🙁