Ngomongin orang. Kalian suka ngomongin orang nggak sih? 😆 Atau jangan suka deh. Tapi sering nggak sih ngomongin orang? 😁 Ada yang bilang kalau ngomongin orang itu sudah kayak nafas yang sulit banget buat dihindari. Ya seberapa sering tahunya kita bahwa ghibah itu dilarang, tetap saja adakah yang bisa menjamin bahwa lidah kita ini terbebas dari hal terlaknat itu?
Ah, terlalu berat kalau dibahas. Sekarang mari kita balik saja. Kalian suka nggak kalau diomongin orang? Bukan di depan, tapi di belakang. Namanya juga ghibah haha. Saya yakin, nggak ada satu pun orang yang suka dighibahin. Tapi kita nggak pernah tahu apakah hidup kita sudah sesuci itu sampai tidak pernah jadi bahasan satu pun orang di dunia ini. Kecuali kalau kita memang hidup di hutan rimba yang nggak ada manusia lain sama sekali.
Apa iya saya bisa menerima nasihat mereka?
Saya sendiri sama. Nggak suka diomongin di belakang. Tapi kan saya manusia biasa. Jadi sekarang saya memilih untuk tidak peduli. Orang mau ngomong apa tentang saya di belakang, saya bodo amat. Tapi kalau ternyata omongan orang-orang itu sampai di telinga saya, biasanya saya juga akan terima-terima aja. Apalagi kalau omongan orang-orang ‘ada benarnya’. Meskipun harus agak sakit hati dulu 😅
Contohnya waktu saya lahiran anak kedua. Banyak bangetlah nasihat dari keluarga suami buat saya. Tapi yang menyampaikan ke saya justru suami. Saya bilang, “Kenapa mereka nggak ngomong langsung ke Ade? Kenapa harus diomongin di belakang? Bla bla bla.”
“Ya nggak panteslah. Ade kan istri Kakak. Mereka keluarga Kakak, jadi pasti ngomongnya lewat Kakak. Lagian emang Ade mau kalau mereka langsung ngomong gitu ke Ade?”
Setelah dipikir-pikir, ya iya juga sih. Kalau misalnya saya langsung dengar dari keluarga suami, apa iya saya bisa nerima nasihat mereka? Apa iya saya bisa mendengarkan dengan baik tanpa ngedumel dalam hati? Kan belum tentu.
Coba lihat diri kita dulu
Dari pengalaman itu akhirnya saya sadar, bahwa terkadang yang bermasalah bukan orang yang membicarakan kita di belakang. Tapi diri kita sendiri. Terlebih kalau ada sikap-sikap kita yang keliru – yang tidak kita sadari, yang jadi sorotan orang lain.
Jadi poinnya, mau nggak kita mendengarkan orang dengan baik kalau mereka langsung ngomong di depan kita? Kita ada salah, terus kita menantang, “Lebih baik lu ngomong langsung aja depan gue.” Nah, tapi mau nggak kita menerima masukan dari mereka? Yakin nggak bahwa nggak ada sedikit pun keluhan di dalam hati kita?
Itu dia masalahnya. Terkadang kita nggak siap. Kita cuma menantang. Tapi kalau omongan itu benar terjadi adanya di hadapan kita, belum tentu kita mau menerima. Itu sebabnya kenapa akhirnya banyak orang yang lebih memilih bermain aman. “Udahlah ngomongnya di belakang dia aja.”
Ya memang, kadang bukan cuma karena belum tentu kita terima. Tapi bisa jadi karena orang juga nggak enak mau ngomong ke kita langsung. Orang belum ngerti karakteristik diri kita. Orang nggak mau kita tersinggung.
Uji mental diri
Makanya, semua kembali ke diri kita. Ketika kita memang nggak siap diomongin orang di belakang, maka seharusnya kita lebih bersiap untuk menerima segala masukan. Apapun pilihan kalimat dan intonasinya. Karena nggak semua orang paham bahwa menyampaikan sesuatu harus dengan kalimat yang baik dan sopan. Dengan intonasi yang bersahabat.
Kan ada orang yang ngomongnya blak-blakan gitu aja. Misalnya, “Eh lu kalo ngupil jangan sembarangan dong. Jijik tau!” Di sinilah ujian kita. Siap nggak kita untuk tidak tersinggung. Siap nggak kita untuk tetap tersenyum mendengarkan masukan mereka?
Barangkali dibutuhkan kejernihan hati kita di sini. Agar kita siap dengan segala masukan. Kecuali jika misalnya orang lain ngomongin suatu hal yang nggak penting. Yang istilahnya tidak sesuai dengan diri kita a.k.a fitnah. Yang begini sih abaikan aja. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Tapi selama masukan orang-orang memang berguna untuk membangun diri kita lebih baik, ya kitanya harus lebih siap untuk menerima apapun pembicaraan dari mereka.
Berat ya. Kalau kata saya sih iya. Tapi bisa jadi ini juga latihan uji mental buat kita. Seberapa kuat mental kita menerima “segala perkataan” yang masuk. Kalau tidak siap, ya terima saja kalau kita mungkin masih lebih gampang diomongin di belakang 😅
Kalau saya malah lebih suka dikatain di depan. Mau dibilang gila dikatain aneh tp didepan muka saya. Malah saya gak tersinggung. kalau dibelakang malah sakit di hati.
Alhamdulillah malah lebih bagus kalau begitu 😀