Pas lagi ngantri di fasilitas umum, suami ngomong, “Inilah enaknya kalau jadi presiden. Kita bisa bikin kebijakan blablablablablabla.”
Ya saya bilang dong, “BIG NO! Ade nggak mau jadi ibu negara. Lebih enak begini. Jadi orang yang biasa-biasa aja. Yang nggak jadi sorotan banyak orang. Kita bebas mau ngapain aja.”
Memang semalas itulah saya untuk menjadi orang yang terkenal. Diperhatikan banyak orang aja rasanya risih banget. Apalagi kalau harus jadi sorotan terus. Bisa-bisa diomongin di belakang terus. Belum lagi kalau kita nggak sesuai ekspektasi banyak orang, malah mereka yang kecewa. Padahal mereka yang lupa bahwa semua manusia di dunia ini hanyalah manusia biasa.
Menjadi orang yang siap dibenci?
Saya jadi teringat cerita tadi pagi ketika suami nyindir salah satu karyawannya yang terlambat. Suami bahkan bilang nggak peduli kalau karyawannya itu jadi bad mood gara-gara dia sindir. Di jalan saya mikir, “Jadi pemimpin berarti harus siap dibenci ya. Harus siap diomongin. Harus siap tidak disukai ketika kebijakan yang dia buat tidak sesuai dengan kemauan anak buahnya.”
Hmm, duh bukan saya bangetlah kedua hal itu. Kasus pertama, saya paling nggak suka jadi pusat perhatian. Kasus kedua, saya tidak siap untuk dibenci. Ya tanpa saya jadi orang terkenal aja, pernah ada lho yang benci sama saya. Dan itu bikin saya uring-uringan. Padahal yang benci itu juga bukan orang yang berarti dalam hidup saya.
Baca: Membenci Memberatkan Hidupmu
Tapi saya juga sadar bahwa selamanya saya memang nggak akan pernah menyenangkan semua orang. Apapun keputusan yang saya buat, apalagi jika itu menyangkut orang lain atau mungkin orang lain ‘merasakan’ akibatnya, menjadi orang yang tidak dibenci itu agak mustahil. Ya minimal tidak mungkin tidak disukailah. Pasti akan ada satu dua yang tidak setuju dengan diri kita.
Enough! Aku berhak bahagia
Terutama saat saya benar-benar memutuskan untuk menutup akun Bookstagram, Facebook, dan Twitter. Awalnya saya masih kepikiran, “Gimana nanti kalau ada yang nyariin saya? Gimana kalau orang-orang nungguin postingan saya? Gimana kalau nanti followers saya kehilangan.” Halaaah panjang. But, mau sampai kapan? Mau sampai kapan saya mikirin orang terus?
Di masa-masa quarter life crisis kayak sekarang rasanya saya lebih milih untuk menyelamatkan diri sendiri dulu. Saya nggak bisa terus-terusan menyenangkan orang sementara diri saya sendiri sudah sangat lelah. Jadilah saya memutuskan, “OKE, ENOUGH! Silakan kalau ada yang tidak suka dengan keputusan saya. Silakan kalau kalian mau meninggalkan saya. Yang penting saya sendiri bahagia. Hidup saya terselamatkan. Keluarga saya juga mendukung.”
Cukup kan. Saya mulai tidak peduli jika kekurangan teman. Selama masih ada keluarga dan hidup bertetangga masih rukun, buat saya saat ini sudah cukup. Apalagi kasarannya ‘hanya kehilangan teman dunia maya, yang ketemu saja belum pernah’ ya so what? Biar bagaimana pun teman-teman maya saya tidak ada yang benar-benar mengetahui kehidupan nyata saya.
Terlebih saya yakin, mereka yang pernah mengalami krisis dalam hidupnya pasti memahami betul keputusan saya saat ini.
Lah kok jadi cerita nutup media sosial sih? Haha. Oke, back to topic.
Menjadi orang yang biasa-biasa saja
Poinnya saya sudah tidak terlalu ambil pusing lagi masalah saya dibenci. Selama saya memang tidak pernah berbuat kesalahan dan merugikan orang lain, saya yakin kesalahan justru terletak pada yang membenci karena mereka memang tidak punya alasan dasar yang jelas untuk membenci.
Tapi memang, hidup dengan damai tanpa ada yang membenci barangkali itu jauh lebih membahagiakan. Makanya, kenapa sampai sekarang saya memilih hidup menjadi orang yang biasa-biasa saja. Yang bebas melakukan apapun yang tentunya positif. Yang hidupnya damai bersama keluarga tanpa ada intervensi dari pihak luar yang menuntut kita harus begini begitu.
Itu sebabnya saya juga nggak pernah ingin menjadi orang yang terkenal layaknya artis, selebgram, atau siapapun yang punya fans banyak. Karena saya nggak pernah siap menjadi orang yang terlalu diperhatikan. Dipandang dengan ekspektasi-ekspektasi tinggi. Karena saya merasa hanya manusia biasa yang pasti nggak pernah luput dari kekeliruan dan dosa.
Beda halnya kalau saya hanya jadi orang biasa. Even saya melakukan kesalahan, pasti hanya sedikit orang yang tahu. Karena memang tidak ada yang menyorot hidup saya. Makanya saya takut kalau di jalan bikin salah, terus ada yang merekam. Takut saya jadi viral haha. Apalagi viral karena hal buruk kan nggak banget. Iih naudzubillah.
Jadi jangan heran ya kalau misalnya kalian ketemu saya, lalu kalian melihat saya dengan cara lain, saya pasti akan nggak nyaman. Karena orang yang jadi pusat perhatian itu nggak enak. Nggak nyaman buat diri saya 😅 Jangankan dilihat, ditelepon orang aja saya langsung kelabakkan haha. Selama masih ada teks, ngapain harus nelepon sih 😅 Ya kecuali kalau yang nelepon keluarga sendiri ya 😜
Udah ah, jadi ngelantur wkwk. Kalau para motivator bilang, “Be an extraordinary people.” Saya justru lebih memilih, “I’am an ordinary people.” Dan saya bahagia menyatakan hal ini 😊
Kalau kalian senang jadi pusat perhatian, atau enggak nih? 😜
Toosss lah mba. Aku juga ga akan mau jadi orang terkenal, yg disorot setiap saat tingkah lakunya. Ga nyaman, ga tenang. Saat traveling aja aku males roti2, apalagi jadi orang terkenal yg bisa aja dicandid banyak banget Ama orang lain .
Jadi orang terkenal mental harus kuat . Super duper kuat. Ga bisa lemah Ama Kata2 hinaan. Makanya aku salut Ama semua artis yg sering dihujat, tahan banget Ama tuh mental . Aku ga deh.. kebawa pikiran, ga tenang . Atau bisa juga pas awal dipuja puja, teus ketahuan salah dikit langsung dihujat seluruh Indonesia . Gimana ga depresi…
Jadi aku ngerasa puas dengan hidup skr. Ga pengen yg terlalu jadi pusat perhatian. Bukan tipeku itu..