Saya #gakpaham deh sama netijen sekarang. Kenapa kalau ada yang ribut, netijen malah lebih emosi daripada yang mengalami sendiri?
Katakanlah ada satu kasus antara dua pihak. Dan mereka berseteru. Lalu perseteruan itu akhirnya berakhir dengan damai. Kedua belah pihak sudah sama-sama legowo dan tenang.
Netijen lebih emosi
Tapi yang terjadi saat ini mengerikan. Karena masing-masing pihak tadi sudah punya pasukan, kasarannya “pembela”. Alhasil dua pihak tadi mah sudah berdamai. Tinggal pembela-pembelanya ini yang masih gontok-gontokkan. Ya ibarat pemilihan presiden gitulah.
Kalau dipikir kan nganu ya. Kasarannya, yang nggak “ngalamin” ngapain jadi pada emosi? Bahkan emosinya seringkali ngelebih-lebihin dari dua pihak yang berselisih paham tadi. Duh 🙄
Mirisnya, itu terjadi sampai sekarang. Apalagi kalau media sosial terus “menggairahkan” sampai nanti. Apa-apa bisa jadi bahan keributan. Dan keributan itu selalu membawa banyak pihak ke dalamnya. Masing-masing saling merasa benar. Dan merasa “menjadi pembela” adalah sesuatu yang “WAH gue harus ikut beropini nih”, “WAH gue keren kalau ikut berpendapat.”
Belum lagi dengan ulah buzzer negatif yang memang disuruh buat manas-manasin. Hmm, orang-orang harusnya tahu bahwa selalu ada oknum begini. Tapi memang kebanyakan masih awam, alhasil seolah-olah apa yang dikatakan di media sosial adalah kejadian yang sebenarnya.
Belajar diam mendengarkan dan memahami
Padahal zaman sekarang beropini itu nggak harus lho. Malah harusnya kita belajar diam dan lebih banyak mendengarkan. Dunia sudah berisik. Terlalu banyak orang yang bicara. Maka untuk apa lagi kita bicara?
Apalagi dengan contoh kasus di atas. Kita nggak tahu tuh kejadian aslinya gimana. Mana yang salah dan benar juga bisa-bisa hanya berdasar perspektif kita dan ulah buzzer negatif. Tapi kenapa juga kita harus ikut beropini sampai emosi?
Kalau tidak emosi sih tidak masalah. Ini kadang sampai berdebat nggak berujung, hadeh.
Konyolnya, kadang opini yang tidak mengalami malah “lebih sadis” dari si kedua belah pihak yang berseteru itu sendiri. Selisih pahamnya sih santai aja. Tapi netijen seringkali lebih emosi ngomongnya dan jadi ngalor ngidul ke mana-mana. Bahkan aib-aib masa lalunya pun ikut dikorek-korek. Tsumma naudzubillah.
Ah, kita memang harus belajar mendalami. Memahami. Apa-apa yang memang tidak kita tahu sebaiknya abaikan aja. Bukan karena kita tidak boleh beropini. Tapi karena – jangan sampai kita yang jadi sok tahu.