Jujur saja, saya baru tahu pembagian generasi X, Y, Z baru-baru tahun 2019 kalau tidak salah. Ternyata pembagian generasi ini berdasarkan tahun lahir. Dan saya, termasuk generasi Y karena lahir di antara tahun 1981-1994. Tapi kalau ngomongin dunia kerja, saya dulu justru lebih sering kerja bersama generasi X dan Y. Yes, itu artinya, saya kerja bersama orang-orang yang sepantaran dan lebih tua dari saya.
Generasi Z yang to the point
Tapi beda dengan suami. Semakin banyak karyawan, beliau jadi merasakan kerja bersama generasi Z. Generasi ini lahir pada tahun 1995-2010. Kalau saya baca-baca di Urbanhire, generasi Z lebih melek teknologi. Mereka cenderung tertutup, lebih individualis, dan jiwanya lebih kompetitif. Tapi sayangnya, generasi Z bisa dibilang kurang peka terhadap isu sosial. Kalau dilihat-lihat, ada benarnya juga. Secara saya punya adik yang lahir tahun 2000an.
Tapi kalau ditanya bagaimana cara komunikasi dalam dunia kerja bersama generasi Z ini? Karena saya tidak punya pengalaman, jadi iseng-iseng saya nanya ke suami. Baca dulu tulisan ini ya Untold Story of “Pengusaha Muda” biar nyambung sama kenapa saya bisa bertanya pada suami.
Nah, suami cuma menyebutkan dua hal tentang cara berkomunikasi dengan generasi Z:
- Menuruti apa yang mereka mau. Atau,
- Membuat mereka menuruti kita.
Generasi Z ini cenderung sulit untuk diajak komunikasi. Mereka termasuk orang yang tidak mau ribet. Makanya wajar kalau disebut generasi Z lebih suka berkomunikasi secara teks dibanding bertatap muka. Oleh karena itulah, berkomunikasi dengan mereka kalau kata suami, harus to the point.
Poin pertama menuruti apa yang mereka mau. Generasi Z itu punya banyak ide. Dan mereka lebih berani menyampaikan ide-idenya. Kalau kita mau, menuruti ide mereka tidak ada salahnya. Tapi sayangnya, terkadang ide-ide mereka terasa belum tepat. Jadi mau tidak mau ya tetap harus dibimbing.
Poin kedua, kalau suami menjelaskan, generasi Z ini bisa dibilang kurang berpengalaman. Meskipun ide mereka banyak, tapi itu baru sebatas ide. Untuk pengaplikasiannya sendiri, mereka belum pernah berpengalaman. Jadi mereka sah-sah saja bersuara, tapi pada akhirnya pemimpin yang berhak memutuskan prakteknya akan seperti apa.
Suami sih menjelaskan cuma dua garis besar itu ya. Pada prakteknya, tentu saja dua poin itu bisa dijabarkan lagi lebih panjang sesuai situasi yang dialami pada saat itu.
Siapa yang memutuskan, dia yang bertanggung jawab
Kalau saya boleh mengambil kesimpulan, teknologi masa kini ya memang sudah pas. Karena generasi Z tidak terlalu suka berkomunikasi secara tatap muka. Pantas saja, karyawan suami yang generasi Z lebih senang saat Work From Home 😀 Dan sifat-sifat mereka yang cenderung individualis dan tidak mau ribet, membuat saya paham kalau suami lebih sering memilih untuk bicara to the point dengan menuruti apa yang mereka inginkan atau membuat mereka menuruti apa yang diinginkan pemimpin.
Tentu saja bedanya ada pada siapa yang menanggung resiko. Poin pertama, dia yang punya ide, maka dia sendiri yang harus menanggung resikonya kelak. Tapi jika pemimpin yang membuat aturan, maka resiko itu sudah menjadi tanggung jawab pemimpin 🙂