April 2019 lalu telinga saya keluar cairan lagi. Tapi kali itu, parah sekali. Sampai-sampai frekuensi pendengaran saya rendah. Untuk mendengar orang bicara tuh saya sampai harus mendekat sekali.
Alhasil, setelah pulang dari Bekasi, saya ke klinik dokter THT di Surabaya. Setelah dicek dokter dan dibersihkan, dokter menyarankan saya untuk untuk periksa ke laboratorium THT.
Hasil pemeriksaan tidak begitu bagus. Oleh dokter, saya hanya dikasih obat dan disarankan untuk pasang Grommet agar cairannya keluar.
Tabung timpanostomi , juga dikenal sebagai tabung grommet atau miringotomi , adalah tabung kecil yang dimasukkan ke dalam gendang telinga untuk menjaga agar telinga tengah tetap diangin-anginkan dalam waktu yang lama, dan untuk mencegah penumpukan cairan di telinga tengah. – Wikipedia
Saya memang punya gangguan pendengaran sejak kecil. Tapi tahun 2019 itulah yang terparah. Saya pikir mungkin Grommet bisa jadi pencerahan buat gangguan pendengaran saya selama ini.
Perjuangan bolak-balik rumah sakit
Oleh dokter THT, saya disarankan untuk membuat BPJS. Karena pemasangan Grommet tidak murah. Walaupun alatnya kecil, tapi karena dipasang di telinga, jadi harus dilakukan operasi dengan bius total. Dan operasi itulah yang membuat biayanya tidak murah.
Pertama saya ke Puskesmas sebagai faskes 1 untuk minta surat rujukan ke faskes 2 di Rumah Sakit Royal Surabaya. Di Rumah Sakit Royal, saya akan minta surat rujukan lagi untuk bisa ke faskes 3 Rumah Sakit Soetomo Surabaya. Karena memang hanya di Soetomo alat-alatnya lengkap.
Di Soetomo saya mulai diperiksa oleh dokter THT. Dilakukan pemeriksaan awal, pengecekan semua kesehatan tubuh saya untuk menentukan apakah layak operasi atau tidak.
Saya ingat sekali, lelah rasanya bolak-balik rumah sakit. Karena pakai BPJS, pemeriksaan pun dijalankan satu-satu. Hari ini periksa ke THT, besok periksa laboratorium untuk rontgen, pemeriksaan darah, sampai akhirnya pemeriksaan alergi obat di dokter anastesi. Dokter anastesi inilah yang nanti menentukan obat bius untuk saya.
Selesai semua administrasi, saya dijadwalkan untuk operasi. Saya dikabarkan operasi bulan Juni. Tapi rupanya ada yang ketinggalan. Saya disuruh tes darah lagi untuk mengecek ginjal.
Opname di rumah sakit untuk pertama kalinya
Belum bulan Juni, tanggal 21 Mei saya sudah ditelepon RS Soetomo untuk operasi esok harinya. Mendadak sekali. Sementara, saya belum menyiapkan apa-apa. Tapi ketimbang ditunda lagi, saya dan suami menyanggupkan.
Kami menitipkan anak-anak ke Lamongan. FYI, selama bolak-balik rumah sakitpun kami menitipkan anak-anak di daycare harian. Alhamdulillah, kami terbantu sekali sehingga tidak khawatir harus mengajak anak-anak ke rumah sakit.
22 Mei 2019, saya mulai opname di rumah sakit. Operasi akan dilakukan besok pukul 06.00 pagi. Sore itu saya minta jalan-jalan ke luar sama suami sebelum malam nanti mulai dipasang infus dan puasa.
Tidak ada ketegangan sama sekali. Insya Allah saya siap. Walau tetap saja deg-degan membayangkan harus dibius total.
Operasi tiba
23 Mei 2019 pukul 06.00 pagi saya diantar ke ruang operasi. Sejak malam saya sudah puasa dan mandi subuh dengan sabun antiseptik dari rumah sakit supaya bersih.
Saya minta ridho suami. Minta maaf kalau-kalau ada salah. Deg-degan sekali, ini akan jadi operasi pertama saya. Dan semoga yang terakhir.
Saya operasi di lantai 5. Ruangan tunggu itu bersih sekali. Semakin dekat saya semakin deg-degan. Tapi saya bersyukur, di antara kiri kanan, sayalah yang paling terlihat sehat. Lha iya, pada dasarnya saya memang sehat.
Didoronglah tempat tidur ketika nama saya dipanggil. Dokter anastesi menyuruh saya membaca doa sebelum operasi dimulai.
Dokter juga menghibur saya dengan menanyakan anak saya ada berapa. Siapa namanya. Dan saat saya bilang, “Emir Elis.” Semua hilang. Saya benar-benar tidak sadar. Entah dibius lewat apa juga tidak terasa.
Grommet tidak jadi dipasang!
Sadar-sadar saya sudah di ruang pemulihan. Saya pegang telinga kanan kiri, tidak terasa apa-apa. Pikir saya, bakal ada perban atau ada yang ngeganjel gitu. Tapi ini benar-benar tidak terasa sama sekali! Wah hebat banget operasinya pikir saya!
Setelah sadar penuh, saya dibawa kembali ke kamar rawat inap. Suami juga kaget, saya terlihat tidak ada perubahan.
Sampai kemudian dokter datang, “Ini grommetnya, tidak jadi dipasang. Karena setelah dilihat tidak ada cairan sama sekali.” Saya dan suami langsung saling pandang.
APA? Jadi dari tadi di ruangan operasi saya diapain aja?! Begitu batin saya.
Kami malah disarankan untuk tes audiometri ulang dan CT Scan.
24 Mei, saya sudah boleh pulang. Tentu saja dengan sedikit kesedihan karena tidak ada tindakan apa-apa.
CT Scan dan hasil yang mengejutkan
30 Juni saya dijadwalkan tes audiometri. Hasilnya masih tidak beda jauh dengan tes sebelumnya.
1 Juli, esoknya saya CT Scan. 2 Juli hasilnya sudah keluar. Hanya saja belum bisa dipastikan. Dokter bilang ada indikasi mastoiditis. Saya berdoa semoga nggak perlu ada tindakan operasi lagi.
7 Juli, saya kembali lagi ke rumah sakit. Hasil CT Scan saya bahkan sampai dibawa ke meja rapat dokter-dokter senior. Rupanya kasus saya ini termasuk langka. Dokter bilang ada pengapuran di telinga. Semacam tulangnya tidak beraturan.
Tindakannya memang harus operasi untuk membenahi tulang-tulangnya. Tapi ini operasi yang besar karena harus membedah kepala. Allahurabb.
Bukan hanya itu, keberhasilan operasi inipun tidak bisa dipastikan. Jika gagal, maka saya akan kehilangan keseimbangan. Subhanallah.
Atas saran dokter, saya tidak perlu melakukan operasi jika memang tidak mau. Lagi pula kata beliau, saya sebenarnya masih bisa diajak ngobrol biasa. Hanya frekuensinya saja yang lebih rendah dari orang normal.
Maka jadilah saya dan suami memutuskan untuk mencari alternatif selain operasi.
Aku nggak mau masuk ruang operasi lagi!
Jujur saya sedih, pikir saya Grommet bisa membantu gangguan pendengaran saya selama ini. Tapi ternyata gangguan pendengaran saya sudah separah itu.
Tapi Alhamdulillah, sekarang saya sudah terbantu dengan alat bantu dengar.
Dan kalau dipikir, lucu juga. Walau tidak jadi operasi waktu itu, saya bercanda ke suami, “Setidaknya aku udah study tour ke ruang operasi hihi. Pas aku masuk, alat-alat operasinya banyak banget! Bagus deh, Bersih banget ruangannya. Dingin juga.”
Tapi di sisi lain, saya juga bilang ke suami, “Tapi aku nggak mau ah masuk sana lagi. Udah. Cukup sekali aja!”
Terkadang aku sedih tak bisa mendengar seperti orang normal,
tapi ketika aku tahu aku tak mendengar yang tak perlu, maka di situlah aku bersyukur.
Semoga selalu sehat ya, de. Jadi inget aku pernah operasi amandel juga di RS pas kuliah. Pertama kalinya dibius total sampe nggak kerasa. Tahu2 tidur, trus udah dipindah ke kamar inap.
Kalau sekarag berarti pakai alat bantu dengar ya? Atau masih lepas pasang gitu?
Aamiin. Makasih Mbak Ila
Aku pake yg lepas pasang Mbak