Mengalami krisis diri membawa saya pada banyak hal yang akhirnya bisa saya pahami. Itu sebabnya dalam blog ini ada kategori #LoQLC, Lessons of Quarter Life Crisis. Gara-gara mengalami quarter life crisis, saya pelan-pelan mampu berpikir kritis.
Saya sudah merasakan bangetlah yang namanya perasaan tidak aman, gagal, marah, kecewa pada keadaan dan beberapa orang. Sampai saya juga pernah ada di fase bahwa saya ingin kabur saja dari rumah dan menyepi sendirian. Saking saya tidak mau menyakiti orang-orang terdekat.
Saya juga sudah banyak baca buku tentang pengembangan diri agar optimisme saya tumbuh. Ikut seminar yang bisa menenangkan saya seperti Mindfullness. Sampai konsultasi ke psikolog online dan datang langsung ke psikiater.
Kewarasan saya belum hilang. Saya hanya pernah goyah pada beberapa keadaan. Maka kala saya sehat, saya sangat bersyukur. Saya merasa hidup di Surabaya hanya berdua suami tuh bagai sedang ditempa. Saya seperti sedang diberi pelajaran banyak sekali tentang kehidupan. Hal-hal yang dulu belum pernah terpikirkan, akhirnya saya sadari sekarang. Salah beberapanya mungkin bisa teman-teman baca di kategori #LoQLC tadi.
Pernah jatuh membuat saya mampu berpikir kritis
Itu sebabnya saya bilang bahwa pelan-pelan saya sudah bisa berpikir kritis. Pernah mengalami masa-masa jatuh justru membuat saya jadi orang yang lebih terbuka dan empati pada orang lain. Saya juga mampu memahami setiap keadaan yang sedang terjadi.
Sudut pandang yang lebih luas
Saya tidak lagi mudah menghakimi jalan hidup orang lain. Sebab saya tahu bahwa kita semua punya jalannya masing-masing. Selama itu memang tidak melanggar norma agama dan umum, baik atau buruk tidak bisa kita nilai secara kasat mata. Makanya saya juga pernah menulis bahwa di dunia ini tidak ada teori manusia yang saklek. Teori A bagus menurut X, belum tentu bagus untuk Y. Teori B bisa jadi lebih cocok untuk diterapkan pada kondisi Y.
Hal ini akhirnya juga membuat saya paham bahwa kita semua memang punya sudut pandang yang berbeda. Apalagi di tengah gempuran informasi saat ini. Satu kata saja, itu bisa jadi banyak persepsi. Satu kalimat, bisa menghasilkan banyak sekali pendapat pro dan kontra. Dan sudah sunnatullahnya memang begitu.
Jadi, kalau saya yang dulu lebih mudah menghakimi orang lain karena merasa mereka tidak memilih jalan seperti yang saya pikir baik, ya ternyata itu bukan salah mereka. Kita nggak akan pernah bisa menilai selama kita masih memakai kacamata sendiri.
Menyaring informasi
Saat sudut pandang lebih luas, saya pun jadi lebih rasional. Saya lebih mampu menyaring informasi. Mana yang bisa dipercaya, dan mana yang sebaiknya diabaikan.
Pengalaman-pengalaman masa lalu turut membuat saya jadi mampu berpikir lebih jauh sebelum mengambil keputusan. Saya jadi tidak mudah percaya, tapi juga tidak menjadi orang yang alot. Sebab informasi yang masuk, akan saya cari dulu kebenarannya. Menganalisa apakah itu memang betul terjadi, atau sekadar tipuan belaka.
Kita tak selalu jadi korban
Menyalahkan orang lain itu paling mudah. Kita mudah sekali berbuat salah, tapi alih-alih sadar diri, kita justru merasa paling jadi korban. Eh itu saya, deh.
Maunya dimengerti terus. Maunya harus dituruti. Padahal nurani kita PASTI sudah berbicara bahwa “kita salah lho”. Tapi tertutupi hanya karena ego diri.
Bukan hanya kita yang diuji di dunia ini. Bukan hanya kita yang mengalami kesedihan dan kekecewaan. Semua orang juga sama. Dan ini memang sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita.
Kita memang sengaja dipertemukan dengan ketidak-enakkan. Dipertemukan dengan hal-hal yang membuat kita kesal. Dipertemukan dengan orang-orang yang bisa membuat kita marah. Tapi saya sadar, bahwa di sini kita tak selalu menjadi korban. Bisa saja semua hal tidak enak yang kita alami adalah ‘balasan’ dari akumulasi perbuatan buruk kita dengan orang lain, atau mungkin ada dosa-dosa yang tidak kita sadari. Tsumma naudzubillah.
Dan barangkali itu memang hanya cobaan untuk kita. Apakah kita mampu menghadapinya. Dan mampukah kita mengambil hikmah atau pelajaran dari yang kita alami. Sebab kalau terus-menerus merasa jadi korban, selamanya kita tak akan pernah belajar dan bertumbuh.
Sadar bahwa hidup tak sempurna
Maka memang beginilah hidup. Tak ada yang sempurna. Tak ada yang sempurna bahagianya. Pun tak ada yang sempurna sedihnya. Manusia selalu diiringi dengan kebahagiaan dan kesedihan secara bersamaan.
Kalau mau disadari, pasti ada hal yang bisa kita syukuri dari ujian-ujian yang kita alami. Pun selalu ada nurani yang berbicara bahwa roda akan selalu berputar. Mungkin benar jika mau hidup sempurna, maka di surgalah tempatnya.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’am: 32)
Berpikir kritis membuat saya lebih mudah memahami hidup
Maka itu, bagi saya mampu berpikir kritis membuat saya lebih paham makna hidup. Saya lebih sadar akan pernak-pernik kehidupan yang memang sudah sunnatullahnya seperti ini. Saya lebih mudah memenej ekspektasi, menyadari bahwa apapun yang kita rencanakan, keputusan akhirnya bukan ada di kita. Dan segala yang kita lakukan, kebenarannya hanya ada di tangan Allah. Kita hanya manusia yang serba terbatas.
Dan yang paling penting adalah dengan berpikir kritis, saya menyadari bahwa kita hidup sangat butuh pedoman. Kita butuh pegangan agar kita tidak mudah terombang-ambing dan putus asa. Sebab kita tahu, apa yang harus dilakukan saat cobaan menimpa, dan saat kebahagiaan menguji diri kita.