Mengembalikan waktu pada masa lalu adalah suatu hal yang paling mustahil. Satu detik yang sudah kita lewati tidak akan pernah bisa kembali lagi. Mungkin itulah kenapa dalam Islam ada anjuran lakukan 5 perkara sebelum 5 perkara. Sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.
Maka hal yang paling saya sesali adalah saya tidak sempat melihat ayah saat sehatnya. Terakhir kami ketemu waktu lebaran Juni 2018 lalu. Setelahnya saya belum pulang lagi ke Bekasi.
Ayah masuk HCU
Sampai kemudian dikabari ayah masuk rumah sakit, saya masih belum bisa pulang. Pikir saya, hanya periksa sakit biasa saja. Tidak tahunya ayah harus masuk ruangan HCU. Saat itulah, tanggal 1 November saya langsung pesan tiket ke Bekasi untuk esok harinya.
Saya bersyukur saat itu masih bisa lihat ayah. Ayah masih sadar sekali. Cuma saya berusaha menahan tangis melihat badannya semakin habis. Selang dimana-mana menyuntik tubuhnya.
Sakitnya komplikasi. Saya menahan sedih tak tega. Berusaha tetap tersenyum supaya ayah tidak sedih.
Selama 2 minggu saya di Bekasi. Tujuan utamanya sebetulnya untuk ayah. Tapi karena saya punya anak, alhasil saya tidak boleh terus-terusan ke rumah sakit. Kasihan juga anak-anak. Hanya seminggu 2 kali saya bisa jenguk ayah di rumah sakit.
Dilema, pulang atau tidak
Saya dilanda dilema. Suami inginnya pulang. Hati saya ingin tetap di Bekasi. Tapi karena posisi saya sebagai istri dan suami harus kerja, mau tidak mau saat suami bilang akan pulang tanggal 15 November, saya pun memutuskan untuk ikut. Tidak enak juga dengan suami yang harus berlama-lama meninggalkan pekerjaannya. Pikir saya, di Bekasi semua masih terkontrol. Ada ibu, kakak-kakak, adik, dan tante saya yang selalu menjaga ayah. Kira-kira satu atau 2 minggu lagi baru saya akan kembali lagi ke Bekasi.
Sebelum hari H pulang, saya masih ke rumah sakit. Saya masih bisa melihat ayah. Masih bisa ngobrol. Bahkan sebelum pulang saya bilang, “Ayah, ayo pulang. Main lagi sama Emir Elis.” Kata ayah, “Iya.”
Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan senyum ayah saat itu. Senyumnya sungguh manis. Terasa beda dibanding biasanya. Tapi saya masih berpikir baik. Ayah pasti sembuh.
Ayah harus pindah ke ICU
Selang satu atau dua hari kemudian, rupanya ayah semakin sesak. Ayah harus dipasang selang dan ditidurkan. Agar pernapasannya bisa dibantu dengan alat.
Allah, tak tega hati lihatnya. Yang tadinya sadar, harus dibuat tidak sadar š Tapi kami pasrah, mungkin memang seperti itulah prosedur dari dokter.
Tanggal 15 saya pulang naik pesawat. Saya masih bisa tidur tenang saat malam tanggal 15 saya sampai di rumah Surabaya. Besok paginya pun saya masih sempat bersih-bersih. Dan memasukkan pakaian-pakaian yang di koper ke dalam lemari.
16 November, ayah sudah tidak ada…
Pukul 6 pagi ada 8 telepon tidak terjawab. Tidak lama, handphone saya bergetar lagi. Saya angkat, “De, Ade nggak boleh nangis. Ade harus kuat. Kita semua harus kuat.” Apa-apaan sih, kenapa tahu-tahu nelepon kakak saya ngomong gitu?
“Ada apa sih, Bi?”
“De, ayah. Ayah udah nggak ada. De, jangan nangis. Ade nggak boleh nangis. Ayah meninggal di hari Jum’at. Hari yang bagus.”
“Innalillahi wa innailahi raji’un.”
Saya lunglai. Terduduk. Menangis. Tidak tahu harus ngomong apa. Handphone langsung diambil alih suami saat itu juga.
Kami pulang lagi ke Bekasi. Naik pesawat paling pagi. Pukul 11.50. Tapi sayang, saya tidak sempat melihat jenazah ayah langsung. Karena perkiraan kami baru sampai Bekasi jam 15 sore. Tidak mungkin jenazah didiamkan berlama-lama. Saya hanya dikirimi foto berkali-kali oleh tante saya. Menangis di sepanjang jalan. Sampai-sampai sudah tidak peduli dengan rasa malu.
Ini sudah yang terbaik
Saya tidak kuat. Kenapa saya harus pulang kemarin? Kenapa saya tidak bisa bersabar di sana barang sehari lagi? Seandainya saya ada di sana, mungkin ceritanya akan berbeda.
Tapi semua sudah takdir Allah. Saya memang tidak tahu apa-apa. Saya tidak tahu rencana apa yang sedang Allah buat. Mungkin memang inilah jalan Allah. Mungkin memang harus ada yang ‘pulang’ dulu.
Ayah sudah tenang sekarang. Seberapa sedih pun kami semua, ini sudah kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Kami tidak punya daya dan upaya apa-apa.
Semua ikhtiar sudah dilakukan. Membawa ayah ke rumah sakit. Berniat menyembuhkan. Doa pun tidak pernah putus. Bahkan tetangga, saudara semua sayang ayah rela hadir dan memberi dukungan.
Tapi kami hanya manusia. Tidak punya daya berlebih. Usia ada di tangan Allah. Jalan akhirnya hanya Ia yang menentukan.
Menyesal? Jangan sampai.
Sedih masih terasa sampai sekarang. Sesak. Rasa tidak percaya masih bergema terus di hati, “Benarkah ayah sudah tidak ada?”
Tapi Allah Maha Perencana Terbaik. Kami yakin, kami harus ikhlas agar ayah tenang di sana.
Ya, kita juga tak boleh berandai-andai. Menyesal tak ada gunanya. Yang sudah terjadi adalah yang terbaik. Tentu saja terbaik versi-Nya. Karena penglihatan kita sebagai manusia memang terbatas.
Allahhummaghfir lahu warhamhu waāaafihi waāfu anhuā¦
Ya Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan maafkanlah dia
Turut berduka cita ya Mbak. Semoga seluruh keluarga semakin dikuatkan hatinya. Kebetulan saya juga mengalami hal yang hampir sama bulan Januari lalu. Hanya saja, karena saya kerja, nggak bisa terus-terusan di kampung. Jadi suatu hari, jam 3 pagi ibu saya telepon, bilang kalau kondisi ayah di ICU dan ngedrop. Saya langsung beli tiket plus ijin cuti satu hari ke atasan lewat whatsapp. Atasan saya belum balas, jam 6 ibu telepon dan bilang kalau ayah sudah tidak ada. Ijin cutinya langsung ganti jadi ijin khusus karena keluarga meninggal. Padalah sebelumnya saya baru balik dari kampung lho. Soalnya ayah saya sudah dua minggu di rumah sakit. Mungkin ayah saya ingin diingat sebagai orang yang kuat, makanya nggak mau dilihat anak-anaknya waktu ngedrop. Itu jalan Allah.
Turut berduka cita juga Mbak. Semoga kita sama-sama kuat ya. Aamiin :’)
Mewek bacanya. Saya juga pernah punya pengalaman begitu, mom.
Subhanallah. Semoga kita dikuatkan ya Mbak :’)