Lagi heboh banget pemuda yang banting dan merusak motor karena ditilang polisi. Haduh kasihan banget ya motornya. Saya juga sebal lihatnya. Tapi, di sisi lain ada hal yang saya pikirkan. Yakni berhubungan tentang menekan kemarahan di masa lalu.
Saya pernah ada di posisi pemuda tersebut. Bukan karena saya ditilang dan merusak motor. Tapi karena saya pernah merespon sebuah kejadian secara berlebihan. Kurang lebih sama seperti pemuda itu. Marah tidak karuan. Banting-banting barang. Bahkan kesal dengan diri saya sendiri.
Again, setelah ikut healing kemarin, saya semakin menyadari, bahwa saya harus memaafkan masa lalu. Memaafkan segala yang sudah terjadi. Memaafkan orang-orang yang pernah mengecewakan saya. Dan yang terutama adalah memaafkan diri saya sendiri. Dan sampai sekarang, saya juga masih belajar sekali dalam hal ini 🙂
Nah, inilah yang akhirnya jadi fokus saya pada si pemuda tadi. Saya tidak tahu masalah beliau apa hingga responnya terlalu berlebihan. Satu yang pasti, saya yakin bahwa pemuda tersebut punya kemarahan di masa lalu yang dipendamnya.
Mungkin saat itu ia sadar ditilang karena salah. Tapi kemarahan masa lalu yang belum pernah diterima dan dimaafkannya, jadi terbawa pada saat itu. So, bisa dibilang marah bisa jadi bukan karena ditilangnya, tapi karena kemarahan akan kejadian di masa lalunya.
Sabar itu BUKAN menekan kemarahan
Marah tidak selamanya buruk. Tetapi marah yang dipendam, yang ditekan, hanya akan membuat kita sedang menanam bom dalam diri. Bom yang kita tidak tahu kapan ia akan meledak. Saat kejadian kita mengira itu sabar, tapi terkadang kita sendiri belum menyadari bahwa kita hanya sedang menekan kemarahan di dalam hati.
Apa bedanya menekan kemarahan dan sabar? Menekan kemarahan adalah ketika kita menyangkal bahwa kita tidak boleh marah. Kita tidak terima perasaan marah itu. Tapi kita tekan terus agar ia tak keluar. Suatu saat ada kejadian yang bahkan sepele, marah itu akhirnya bisa meledak. Bukan marah karena kejadian pada saat itu, tapi karena kemarahan yang pernah kita tekanlah yang akhirnya keluar.
Berbeda dengan sabar. Sabar adalah ketika kita bisa menerima seluruh perasaan marah di dalam hati. Ikhlas. Tidak ada yang disangkal. “Iya, saya sedang marah. Iya saya sebal. Oke.” Dan kita bisa memaafkan sepenuhnya kejadian atau seseorang yang membuat kita marah pada saat itu.
Dalam prakteknya, sabar memang tidak mudah 🙂 Ya itu tadi, terkadang kita sendiri sulit membedakan mana yang benar sabar atau hanya sedang ditekan.
Baca: Yuk, Berjuang Melawan Hawa Nafsu
Marah hanya membawa penyesalan
Sayangnya, marah itu juga membawa penyesalan yang berlarut. Apalagi jika itu berlebihan. Setelah emosi reda, kita akan menyesali kemarahan-kemarahan kita sebelumnya. Setelah melihat barang-barang rusak, tidak ada yang tersisa selain penyesalan.
Ya, marah itu sesungguhnya menyedihkan. Barangkali itu sebabnya Allah menyuruh kita untuk tidak marah.
…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali ‘Imrân : 134).
Satu yang saya pelajari lagi dari healing kemarin adalah, beri jeda sejenak saat kita mengalami sebuah kejadian. Tarik dan hembuskan nafas. Sadari nafas kita saat itu. Kalau cara saya pribadi, jika marah tak tertahankan dan keadaan memungkinkan, menjauhlah dari tempat kejadian. Untuk menenangkan diri agar berpikir lebih jernih.
Jika situasi sudah lebih tenang. Kita bisa berbicara pada diri sendiri, untuk menerima kejadian tadi, merenungkan hikmah apa yang bisa kita dapatkan, dan pelan-pelan berkata dalam diri, “Aku akan belajar memaafkan.”
*NTMS.