Seiring waktu berlalu. Sampai suatu ketika ibu menegurku, “Biar gimana, kamu ngga boleh kayak gitu. Lagi pula ayah sudah berubah. Ayah sedih kamu perlakukan seperti itu. Jangan benci ayah. Biar gimana, itu Ayahmu.” Deg. Aku tertegun. Mengilas balik saat-saat ini. Benar. Ayah sudah tak seperti dulu. Ayah memang sudah berubah. Tak ada lagi ayah yang mudah emosi, tak ada lagi ayah yang menyakiti ibu. Semua sudah berubah. Lantas mengapa aku harus benci? Ibu saja sudah lama melupakannya. Memaafkannya. Tak pernah lagi mengungkitnya. Aku sebagai anak yang justru tak pernah dikecewakan, mengapa harus membenci?
Bukankah dari dulu ayah selalu sayang pada anak-anak? Bukankah ayah yang sekarang selalu mencium pipi ibu setiap saat akan berangkat kerja? Bukankah ayah selalu menjadi pendengar yang baik? Bukankah ayah selalu kreatif menciptakan suasana menjadi cair. Ya. Itulah ayah yang sekarang, yang belum kusadari.
Ibu benar. Tak sepantasnya aku begitu. Perlahan-lahan hatiku mulai luluh. Aku mencoba memperbaiki semuanya. Menahan egoku. Kembali berpikir tentang ayah dan melihat hubungannya dengan ibu sekarang. Memang benar. Tak ada yang pantas aku benci!
Aku langsung menangis di hadapan ayah dan menunduk meminta maaf atas semua kelakuanku yang sudah menyakitinya. Menyesal. Amat menyesal. Setahun lebih aku bersikap tak enak pada ayah. Ternyata diam-diam pula ayah mencurahkan perasaannya pada ibu, rupanya ayah sadar dengan semua perlakuanku. Ayah sakit hati, sedih padaku. Ya Allah, aku telah durhaka pada ayah. Ampuni hamba ya Rabb..
Hubunganku dengan ayah saat ini sudah membaik. Malah semakin membaik. Bahkan tak jarang, kami berbincang berdua. Berbincang tentang apapun. Kuliahku, kerjaku, dan segala hal tentang keluarga, cinta dan kehidupan. Ayah juga tak pernah mengungkit tentang masa lalu yang menyakitkan itu. Biarlah itu menjadi sebuah pelajaran bagiku. Bagiku yang akhirnya mengenal kata ‘Cinta’ pada orang tua yang sesungguhnya.
Hubungan ayah dengan ibupun kian hari kian mesra. Usia pernikahan mereka sudah mencapai tiga puluh tahun pertengahan Agustus lalu. Bukan hal mudah mempertahankan pernikahan hingga mencapai usia puluhan tahun seperti mereka. Sungguh, perjuangan yang sangat luar biasa. Perjuangan ibu untuk terus bersedia mempertahankan pernikahan, mempertahankan keutuhan keluarga, dan perjuangan untuk menyadarkan ayah yang akhirnya membuat ayah luluh hingga sekarang. Seperti prinsip ibu yang selalu berkata bahwa, ‘Hidup tak kenal menyerah. Allah akan selalu menolong, setiap saat hambaNya memohon.” Subhanallah. Itulah perjuangan orang tua.
Kawan, seburuk apapun masa lalu orang tua kita atau seburuk apapun orang tua kita, mereka tetap orang tua. Orang tua yang telah membesarkan kita. Tak mungkin kita bisa seperti sekarang tanpa kasih sayang mereka. Tanpa peluh keringat mereka, tanpa jasa mereka. Sudah seyogyanya kita ucapkan dan tunjukkan rasa terima kasih. Sebagai anak yang melayani mereka dengan sepenuh hati serta selalu mendo’akan mereka.
Dan membenci, sungguh hanya akan merusak diri kita sendiri. Hati yang kotor, tak akan pernah bisa hidup tenang. Lebih baik dibicarakan baik-baik saat isi hati ada yang mengganjal. Selain lebih bijak, kita akan terhindar dari sifat mengumpat dan dendam.
Dari Anas Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, “Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling menghindar, dan saling memutuskan silaturahmi. Jadilah kalian hamba Allah ta’ala yang saling bersaudara. Tidaklah halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari. (Muttafaq Alaihi).
Semoga kisah ini bisa memberi pelajaran berharga. Khususnya bagi diriku sendiri. Yang lebih menghargai kehidupan, masa lalu, cinta dan keluarga. Bukankah setiap orang bisa berubah menjadi lebih baik? Dan benar apa yang orang bijak bilang, tak peduli seburuk apapun masa lalu, masa depan selalu suci.
Semoga, cinta juga selalu ada di setiap keluarga. Perjuangan tanpa batas yang tak boleh putus di tengah jalan dan rasa tidak ingin menyerah. Allah, suka dengan umatNya yang bersungguh-sungguh dan selalu meminta padaNya. Berdo’alah padaku, niscaya akan Ku kabulkan.
Semoga kini, tak ada lagi kebencian dalam hatiku. Juga dan semoga, hatimu. Hati kita semua. Hanya cinta dan pikiran yang luas yang terpatri dalam diri. Dengan itulah kita bisa memandang kehidupan dengan lebih arif dan bijaksana.
Ayah, tulisan ini untukmu.
Ibu, tulisan ini untuk perjuanganmu,
dan untuk kamu semua yang sedang membaca artikel ini.
Semoga cinta selalu tumbuh dalam hati kita. Aamiin..
Alhamdulillah, terimakasih sudah berkenan berpartisipasi,
artikel sudah resmi terdaftar sebagai peserta…
mohon dicek kembali namanya di daftar peserta yang ada, kalau belum muncul harap beritahukan admin segera.
salam santun dari Makassar 🙂
Alhamdulillah terima kasih Pak, nama saya sudah masuk daftar peserta 🙂