Entah mengapa setiap kali saya melihat foto-foto sahabat-sahabat lama saya dengan teman-teman barunya kini, ada rasa kecemburuan besar dalam hati saya. Dulu, saya yang selalu ada di samping dia. Dulu saya yang sering berfoto bersama dia. Dan kini saya hanya bisa menatapnya dari jauh sembari memendam iri karena susah untuk bisa seperti dulu. Apakah perasaan ini hanya ada pada saya? Atau mungkin (barangkali) dia atau mereka punya perasaan yang sama? Entahlah. Satu yang pasti, saya sendiri masih belum bisa menjelaskan secara pasti mengapa perasaan ini seringkali menghinggapi hati saya. Padahal seorang teman pernah berkata, “Untuk apa iri? Toh kita masih sama seperti dulu.” Ya, tapi tidak seintens dulu. Tidak semudah dulu juga butuh beberapa pengorbanan hanya untuk sekedar berkumpul.
Sibuk? Mungkin jadi satu alasan yang pasti disebut. Keterpisahan yang membuat jalan masing-masing menjadi berbeda, membuat dua atau lebih pasang sahabat mempunyai kesibukan yang juga berbeda. Teman-teman baru pun bermunculan. Aku dengan teman-teman baruku, merekapun juga dengan teman-teman barunya. Ah, bodoh sekali. Terang saja mereka bisa dengan mudahnya berkumpul bersama, toh mereka masih punya kesibukan yang sama. Jika nanti suatu saat mereka berpisah lagi, akan sama jadinya bukan? Barangkali memang itulah siklus hidup. Yang pergi akan segera digantikan dengan yang baru.
Tapi seringkali juga saya bertanya, zaman ini masih adakah sahabat sehidup semati? Dalam arti, mereka selalu bersama walau sebeda apapun jalannya. Satu dua menjawab, “Aku mengalaminya. Hingga kini aku dan sahabatku masih sama seperti saat kami kecil dulu.” Sungguh bahagia sekali rasanya ya. Saya? Meskipun ada, saya tidak bisa bilang bahwa hubungan kami masih seperti dulu. Sebab saya tidak bisa memungkiri bahwa sekalipun mereka (mungkin) masih menyebut saya sahabat, pada kenyataannya mereka tidak tahu kapan saat saya senang, kapan saat saya sedih. Untuk berkumpul, jangan ditanya betapa sulitnya.
Lalu apa sih yang dinamakan sahabat? Apa ia yang selalu ada di saat suka duka? Lalu bagaimana jika kenyataannya seperti yang saya sebut di atas? Masih pantaskah untuk disebut sahabat? Barangkali yang lain punya jawaban yang lebih tepat.
Baca: Tanpa Tapi, Tanpa Asing
Saya jadi ragu untuk lebih dekat pada seseorang. Dua kali punya pengalaman yang tak meng-enakkan. Hubungan kami sejak dulu baik, super baik malah. Jarang sekali bertengkar. Kemana-mana kami selalu berdua. Setiap hari libur tak jarang kami saling bermain. Namun suatu ketika, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan di sini yang intinya disebut masalah. Barangkali kedengerannya itu masalah sepele bahkan sama sekali tidak berat, tapi itu sukses membuat kami menjauh. Benar-benar menjauh, lost contact bahkan seperti orang yang tidak pernah saling kenal. Bergidik sekali bila mengingatnya.
Sejak dua pengalaman itulah saya semacam punya trauma. Sebenarnya, pada dasarnya saya bukan tipe orang yang bisa marah lama-lama bahkan lebih dari satu hari. Tapi mungkin setiap orang berbeda. Maka jadilah, saya yang lebih sering meminta maaf lebih dulu agar suasana mencair. Sekarang saya lebih memilih, lebih baik ada pertengkaran kecil setiap hari namun keesokannya kembali seperti biasa, daripada tidak pernah bertengkar, sekalinya bertengkar justru parah sekali keadaannya seperti pengalaman saya dulu. Dan ini juga yang saya ceritakan kepada suami. Bahkan saya meminta, jika ada pikiran mengganjal langsung saja sampaikan. Tak apa, jika itu membuat pertengkaran kecil, tapi untuk selanjutnya kita bisa lebih baik dan tetap berjalan berdua.
Baca: Dialah Sahabatmu
Kembali pada sahabat, barangkali saya memang tak bisa memaksakan untuk meminta seseorang terus ada di samping saya. Memang inilah siklusnya. Lagi pula, saya pun tak bisa terus ada di samping mereka. Bukankah kini saya juga punya teman-teman baru?
Pada akhirnya, mungkin benar apa yang pernah dikatakan sebuah meme di media sosial, semakin tua, hidup kita semakin sepi. Semakin tua, kita menjadi sendiri. Sahabat, bahkan anak-anak kita barangkali akan berjalan mandiri. Tentu saja kita tak bisa menuntut mereka untuk diam di tempat hanya untuk sekedar menemani kita. Satu yang pasti, berjalan jauh boleh saja, yang tak boleh adalah meninggalkan tanpa pernah menengok kembali seseorang yang pernah hadir menemani kita :’) Hanya satu takdir yang tidak bisa kita ubah, saat Yang Kuasa memanggil, maka kita tak bisa mengelaknya :’) Harapan yang selalu diutarakan, semoga saja kita bertemu lagi dalam jannah-Nya kelak :’)
persahabatan makin berumur makin mengerucut. kuantitasnya mkin dikit, tapi kedekatannya makin personal. ngerasanya sih gitu aku mbak. di tiap inercircle pertemanan paling engga ada 1 orang yang deket banget..
Iya betul mbak. Alhamdulillah ya kalo masih ada yg deket 🙂
Aku gak suka sahabatan. Gak mau lagi. Kapok banget -,-
Hehe jangan kapok Mbak. Karena setiap orang berbeda :))
iya perlahan, sahabat yang dulunya dekat, kini dah menemukan kehidupannya sendiri, kita harus maklum