Beberapa hari yang lalu saya sempat berpikir, kenapa sih seringkali hujan dibilang cuaca buruk? Kenapa orang selalu mengeluhkan datangnya hujan? Ya memang, terkadang bukan tak ingin tapi kita merasa datangnya hujan kurang tepat. Entah itu karena sedang di luar, ingin pergi, berlibur atau yang lainnya. Tapi semenjak hari itu, entah kenapa pandangan saya tentang hujan berbeda. Hujan buat saya adalah keberkahan. Pernah dengar, “Wah acaranya disambut hujan, berarti berkah nih.” Mungkin kalimat itu memang ada benarnya. Seperti firman Allah di Qur’an Surat Al-Baqarah:
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (“hujan”) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan”hujan” itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. 2:22)
Hujan ialah rezeki. Maka pantaskah kita merutuki karunia-Nya? Mudah-mudahan ini jadi teguran untuk diri saya sendiri.
21 Mei 2010
Hari itu benar-benar hari yang super menyebalkan bagi saya. Siapa yang mau mendadak dijauhi oleh sahabat sendiri? Bukan satu, melainkan 10 orang. Ya, dulu saat SMK saya punya – sebut saja namanya – genk. Genk itu berisi 11 orang yang menamai dirinya Lathcom. Saya tidak tahu jika saat itu sedang dikerjai oleh mereka karena tanggal 19 Mei saya berulang tahun. Mungkin sebelumnya mereka memang merencanakan itu.
Saat di kelas, tiba-tiba saja saya dijauhi. Dibilang saya tidak perhatianlah, hanya mementingkan salah satu temanlah (di luar Lathcom, saya punya satu sahabat, Ratih namanya). Saya benar-benar tidak tahu apa alasan mereka saat itu. Yang jelas saya benar-benar sedih. Bukan hanya dijauhi, tapi dipermalukan di depan kelas. Jadi ceritanya, saat itu saya dapat tugas untuk membaca puisi untuk acara perpisahan kelas dua belas, jadilah saya disuruh latihan di depan kelas oleh teman-teman. Kebetulan bertepatan dengan saya datang bulan. Tapi tidak biasanya tembus sampai ke rok, parahnya yang saya pakai rok putih hiks. Saya berusaha untuk menutupi dengan tangan, tapi teman-teman yang lain keukeuh tangan saya harus lepas. Biar ekspresinya enak, begitu katanya. Ingin sekali rasanya menangis, tapi Ratih di belakang menguatkan saya. Tenggorokan saya mendadak sesak karena menahan tangis, latihan puisipun berantakan.
Sepulang sekolah saya sms kakak untuk minta jemput. Sembari menunggu di pelataran masjid sekolah, hujan turun. Hanya Ratih yang waktu itu menemani saya. Di depan dia, tumpahlah air mata saya. Saya tidak kuat dijauhi seperti ini. Mendadak dimusuhi oleh sahabat-sahabat sendiri.
Saya: “Kok lo nggak pulang?”
Ratih: “Gw masih mau di sini.”
Saya: “Udah sana pulang, yang lain juga udah pulang.” (Sampai sekolah sepi, kakak saya belum datang juga.)
Ratih: “Yee apaan sih, orang gue mau nunggu kakak lo” (Dia memang sempat naksir kakak saya)
Saya:”Udah pulang gih, ntar macet lho!”
Ratih: “Gue mau nemenin lo di sini!”
Jleb. Kata-kata Ratih terakhir bikin air mata saya makin deras. Jadi itu alasan Ratih tidak pulang padahal hari hampir Maghrib? Hanya untuk menemani saya di sini? Padahal teman-teman lain kompakkan menjauhi saya. Saya tidak berucap apa-apa lagi setelah itu. Belum lagi teman-teman Ratih ternyata juga belum pulang. Mereka ikut menemani saya yang saat itu benar-benar merasa sendiri.
Hingga hujan reda, kakak saya baru sampai. Masih dengan sisa tangis, saya hanya bisa mengucapkan, “Makasih ya, Tih.” Dan dia mengangguk tersenyum, “Dah nggak usah nangis lagi.”
Sampai di rumah saya langsung sms dia, Aku baru tahu apa itu arti kesetiaan.
Malamnya saya memang masih merana, tapi mengingat kesetiaan Ratih tadi sedikit menghibur saya. Mungkin ini yang dinamakan sahabat. Tak hanya ada di saat suka, tapi juga duka.
Keesokkan harinya dan sepulang sekolah, saya ditarik ke lapangan. Disuruh mengaku mengapa saya melupakan mereka. Saya hanya bisa berkata maaf saat itu. Meskipun saya sendiri tidak mengerti apa masalah sebenarnya. Dimarahi habis-habisan oleh Ferli salah satu sahabat saya. Mendadak Ratih menyambangi kami dan menarik tangan saya,
Ferli: “Apaan sih lo, ikut-ikutan aja!”
Ratih: “Dia temen gue!” (sambil menarik tangan saya)
Saya masih berkilah dari Ratih karena memang ingin menyelesaikan masalah dengan Lathcom.
Ratih: “Ayo De, kita pulang!”
Dan plak! Kepala saya terkena cipratan terigu dan telur. Ya ampun, ternyata saya hanya dikerjai. Lucunya Ratih juga diceploki. Barulah saya tahu mereka ber-10 hanya mengerjai saya. Derai tawapun langsung ramai. Saya dan Ratih jadi malu sendiri.
Hari sabtu saya main ke rumah Ratih. Dan kami saling cerita kejadian di sekolah kemarin. Benar-benar memalukan kata dia. Belum pernah dia semarah itu katanya. Dalam hati saya, Ya Allah Tih, ternyata sebesar itu rasa cinta kamu ke aku.
Sejak saat itulah pandangan saya tentang hujan berbeda. Hujan punya cerita sendiri buat saya. Dan sejak itu pula saya tahu apa itu arti sahabat dan kesetiaan. Dan Ratihlah yang pertama memperlihatkannya pada saya. Sampai saat ini hubungan kami masih berjalan baik. Mudah-mudahan selamanya akan terus baik 🙂
Tulisan ini diikutsertakan dalam A Story of Cantigi’s First Giveaway
Truly romantic. Luar biasa yaaa.. persahabatan sungguh indah 🙂
Alhamdulillah 🙂
Sahabat yang setia ya mbak… indah sekali
Iya Mbak 🙂