Salah satu yang tidak boleh tertinggal dalam rutinitas keseharian saya adalah sarapan. Bagi saya ritual makan pagi ini penting sekali. Saya mungkin kuat menunda makan siang. Tapi tidak untuk makan pagi. Selain sarapan sehat, sarapan juga mampu memberi energi positif karena tenaga menjadi lebih prima untuk beraktivitas.
Nah bicara sarapan, saya baru saja membaca blog milik seseorang yang bercerita tentang filosofi sarapan. Yang dalam salah satu poinnya adalah bahwa makan pagi itu sederhana. Ah saya setuju sekali. Jarang ya rasanya sarapan itu kita bikin ribet. Paling hanya sepiring nasi goreng, setangkup roti selai, atau mungkin hanya beberapa potong buah dan sayuran. Tapi kita bisa bahagia karena tidak melewatkan pagi begitu saja dengan mengisi energi. Ya, mungkin seperti itulah seharusnya kehidupan. Semakin (dibuat) sederhana, semakin kita bahagia.
Saya berjuang untuk hidup sederhana
Dan sekarang, saya sedang berjuang untuk hidup sederhana. Saya mulai mengurangi pembelian barang-barang. Ya baju, peralatan rumah tangga, atau mungkin nanti buku hehe. Benar lho, setelah beberapa lama mempraktekkannya, saya jauh lebih tenang. Pakai baju ya nggak terlalu pusing. Karena pilihannya terbatas. Sama halnya dengan barang-barang lain. Tidak perlu pilih mau menggunakan yang mana. Karena yang saya punya ya hanya itu saja. Jadi hanya membeli jika memang benar-benar dibutuhkan.
Tidak cuma dalam hal barang. Dalam kehidupan pun begitu. Saya sering berpikir rumit. Mementingkan apa kata orang lain. Padahal kalau mau dibikin lebih sederhana, saya tinggal jalan saja ke depan. Selama yang saya lakukan itu baik, tidak mengganggu banyak orang, buat apa saya terlalu memikirkan apa kata orang lain? Toh lagi pula apapun yang kita lakukan, sekalipun sebenarnya itu baik, komentar orang pasti tidak bisa terhindarkan.
Kisah Lukman Al-Hakim
Kisah Lukman Al-Hakim yang terkenal contohnya. Ia menaiki keledai dan membiarkan anaknya berjalan. Lalu dibilang tega karena membiarkan anaknya jalan kaki. Kemudian ia turun dan anaknya yang naik keledai. Dibilang lagi oleh orang lain kalau anaknya tega karena membiarkan ayahnya berjalan. Dan ketika beliau dan anaknya naik ke atas keledai berdua, masih juga dikomentari kasihan keledainya. Aah. Kalian sering membaca kisah ini, kan?
Ya, mungkin memang sudah kodrat alamiahnya begitu.
Setelah kesedihan, terbitlah kebahagiaan
Sama seperti kesedihan saya beberapa hari lalu karena kalah dalam dua kontes. Saya betul-betul sedih. Tapi suami dengan ringannya bilang, “Ya mungkin rezekinya di tempat lain.” Ah terlalu rumit berpikir, membuat kita jadi sulit sendiri hiks.
Saya akui sulit berpikir ringan ketika pertama mengalami. Jelas saja karena saya sudah terlalu berharap. Maka wajar jika saya sedih. Tapi di jam berikutnya Allah ‘malah’ memberi saya kebahagiaan yang lain untuk mengimbangi kesedihan saya. Di hari yang sama, malam harinya saya mendapat rezeki yang sangat bisa untuk disyukuri. Karena ternyata, Allah memberi rezeki lebih banyak dari yang saya harapkan dan tidak saya duga sebelumnya. Masya Allah. Allah dengan segala rencana-Nya.
Semakin (dibuat) sederhana, semakin bahagia
Yah begitulah kehidupan. Semakin dibuat sederhana, sesungguhnya kita bisa menjadi lebih bahagia. Karena ketika kita tidak berpikir terlalu jauh, kita justru lebih menikmati masa-masa sekarang. Masa dimana kita bisa mensyukuri keberadaan kita. Masa dimana pikiran kita menjadi lebih jernih dalam melihat segala kenikmatan yang kita punya saat ini. Masa kita lebih yakin dengan jalan yang kita pilih itu baik. Dan masa kita hidup dengan lebih tenang karena pilihan-pilihan yang terbatas.
Semoga, kita selalu bisa membuat segala sesuatunya menjadi sederhana. Seperti sarapan. Bukan karena dikejar waktu. Tapi karena kita menyadari bahwa hidup semakin (dibuat) sederhana, maka kita semakin bahagia 🙂
Sarapan itu penting, saya setuju itu.
Yuhhu 🙂