Kebaikan dan Membangun Ekspektasi Berlebihan

Membaca tulisan Mak Indah, tentang Membangun Reputasi, saya jadi ingat kasus-kasus pesohor dalam negeri yang dikenal baik dan sempat tersandung masalah. Akhirnya kesalahan mereka membuatnya nyaris atau bahkan ‘diblacklist’ dari manusia yang baik. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Padahal kesalahan yang mereka lakukan, barangkali tidak lebih besar dari kebaikan-kebaikan yang sudah mereka berikan dan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang.

Kita menganggap bahwa para pesohor itu munafik. Padahal pada dasarnya, siapapun manusia pasti ingin dikenal baik. Bahkan orang jahat sekalipun mungkin sebenarnya ingin dikenal baik. Tapi sayangnya, kita memang manusia. Yang memiliki keterbatasan dan tidak lepas dari salah dan khilaf.

Belum lagi di dunia media sosial sekarang. Saat kita bisa menulis apa saja di dalamnya. Tidak mungkin kita mau terus-terusan mengeluh, menjelek-jelekki diri sendiri atau mengumbar masalah pribadi kita. Itu semua karena kita ingin dikenal baik. Kita membangun agar reputasi kita tidak buruk. Munafik? Tidak. Karena kita tahu, bahwa keburukan yang kita tampakkan hanya akan membuat kita dipandang sebelah mata.


Ekspektasi berlebihan, menganggap manusia sempurna

Mungkin memang kita juga yang terlalu mudah dan cepat percaya pada orang. Sampai kita lupa memberikan ruang kekecewaan di dalam hati kita. Kita larut dalam kebaikan-kebaikan yang diberikan orang lain. Bahkan dengan suami atau istri kita sendiri. Yang sebelum menikah, terlihat begitu sempurna baiknya. Tapi setelah menikah, kita akan dikejutkan dengan banyak hal yang sebelumnya tidak kita tahu. Kalau kita tidak bijak, bukan tidak mungkin rasa cinta yang sebelumnya tumbuh, hanya akan menjadi benci karena kita tidak mau menerima kekurangannya.

Mungkin memang kitalah yang terlalu memasang ekspektasi berlebihan. Memandang kebaikan-kebaikan yang dilakukan orang lain membuat orang itu sempurna. Sampai kita melihat bahwa mereka tidak memiliki celah. Akhirnya kita lupa, bahwa mereka juga manusia, yang hakikatnya punya salah dan khilaf.

Di dunia ini, tidak ada yang kebetulan

Seorang wanita yang saya kagumi selalu bilang, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua karena Allah punya maksud. Termasuk dengan kebaikan-kebaikan orang yang diperlihatkan pada kita, barangkali dari situlah ada pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil.

Maka ketika seseorang melakukan kesalahan, kekecewaan kita adalah hal yang wajar. Tapi jika rasa benci yang tumbuh, sesungguhnya kitalah yang rugi. Kita membiarkan diri tersiksa dengan tumpukkan perasaan yang memberatkan langkah kita.

Terakhir, ada kutipan bagus:

β€œKita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.
Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.”
― Tere Liye, Rindu

Ade Delina Putri

Blogger, Stay at Home Mom, Bookish,

15 comments to “Kebaikan dan Membangun Ekspektasi Berlebihan”

You can leave a reply or Trackback this post.
  1. Indah Juli - Oktober 28, 2016 Balas

    Setuju sama Ade, jangan terlalu berlebihan atau membuat ekspektasi yang berlebihan, kalau nggak sesuai bisa bikin kecewa. Kalau kecewa trus move on sih nggak apa, kadangan ada juga yang akhirnya bikin penyakit buat diri sendiri πŸ™‚

    Terima kasih banyak sudah menanggapi tulisanku ya.

    • adedelina - Oktober 28, 2016 Balas

      Itu dia Mak, kadang ada yang dipendem terus-terusan akhirnya jadi penyakit deh.

      Sama-sama Mak Indah :*

  2. Rosalina Susanti - Oktober 28, 2016 Balas

    secara gak sadar, kita sering menuntut orang lain bak malaikat, sehingga saat ia berbuat salah kita gak terima, padahal manusiawi.

    • adedelina - Oktober 28, 2016 Balas

      Yap. Padahal kita bukan malaikat yang tak punya dosa πŸ™

  3. herva yulyanti - Oktober 28, 2016 Balas

    Aku belum beres baca novel rindu jadi reminder mau selesaiin krn kehaling buku yang lain dari tahun kapan tau :p
    Klo aku ngaca ke diri sendiri si mba kalau ada yg posting keluhan, gerutu, kesel, provakasi aku sendiri yang baca aja sebel luar biasa makanya aku ga mau begitu walaupun prakteknya emang tak semudah teori hahahah..nice reminder

    • adedelina - Oktober 28, 2016 Balas

      Baca mbak. Aku dulu cuma kelar 3 hari. Saking asyiknya hehe.

  4. damarojat - Oktober 28, 2016 Balas

    sentilan yang menarik mbak. terutama dalam menilai pasangan.

  5. Nova Violita - Oktober 28, 2016 Balas

    setuju….
    yg penting berbuat sebaiknya.. ga perlu bilang baik sana sini..

    karena kebaikan itu gak butuh penilaian..

    • adedelina - Oktober 28, 2016 Balas

      Setuju. Sama seperti tangan kanan memberi, tangan kiri ga perlu tau πŸ™‚

  6. Kang Nurul Iman - Oktober 28, 2016 Balas

    Kalau saya mah lebih baik dipuji oleh allah swt daripada harus menunggu pujian dari orang lain karena lebih muantappp juga mbak kalau dapat pujian dari allah swt mah. ahi hi hi.

  7. adedelina - Oktober 28, 2016 Balas

    Wekekekek :p

  8. Keven - Oktober 28, 2016 Balas

    Jangan melulu menilai kualitas diri kita melalui kacamata orang lain. Percaya diri saja, bahwa kita sudah melakukan yg terbaik bagi hidup kita, tidak peduli bagaimana pun hasilnya. Gagal itu wajar, yg penting kita mau belajar dari kesalahan, dan berani mencoba lagi. Kali ini, dengan cara yg lebih cerdas.

  9. Liza Arjanto - Maret 12, 2017 Balas

    Jadi jujur itu lebih okey ya. Sip!

Leave a Reply

Your email address will not be published.