Kemarin hari apa itu saya lupa, Mbak Annisast di story nya lagi ngomongin tentang masalah CUEK. Untuk yang follow dia sejak lama, pasti sudah tahu bahwa pembawaan beliau memang easy going alias tidak pernah terlihat ribet. Makanya, saya juga salut dengan beliau yang bisa secuek itu dengan orang-orang yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Saya jadi ikutan ketrigger pengen nulis tentang hal yang kurang lebih sama. Yaks, pelajaran selanjutnya dari #Lessons of Quarter Life Crisis adalah kita tidak bisa menyenangkan semua orang.
Antara cuek dan tidak bisa menyenangkan semua orang itu kan kaitannya erat banget ya. Seperti yang dikatakan Mbak Annisast di bawah ini:
#Lessons of Quarter Life Crisis: Tidak bisa menyenangkan semua orang
Iyalah, tidak bisa menyenangkan semua orang itu tidak apa-apa sekali. Nabi yang baiknya ampun-ampunan saja, masih ada saja orang yang tidak suka dengan beliau. Bagaimana dengan kita manusia biasa yang kodratnya banyak salah dan khilaf.
Awalnya saya juga tipe yang selalu peduli dengan omongan orang. Dengan stereotipe-stereotipe yang beredar. Tapi lama-lama saya juga capek. Apalagi pas puncaknya krisis waktu itu, saya sudah benar-benar yang ngerasa lelah banget. Mau sampai kapan sih saya terus-terusan peduli sama orang sementara diri saya sendiri kok kayaknya tidak nyaman melakukan itu?
Semua adalah tentang perspektif kita sendiri
Senada banget dengan vlog Gita Savitri yang kemarin saya tonton. Di situ Gitasav bilang bahwa, “Kegagalan itu sebetulnya tentang perspektif kita sendiri. Kita harus bisa menentukan standar kegagalan kita sendiri itu apa. Bukan berdasarkan stereotipe orang-orang yang selama ini beredar.”
Ya kurang lebih dengan bahasan sekarang sama. Kita merasa sedang menyenangkan orang lain. Tapi orang lain yang mana? Lalu apakah kita beneran senang karena sedang menyenangkan orang lain? Kalau kita tersiksa ya buat apa?
Kita belum nikah di umur sekian karena memang belum menemukan calonnya. Lantas kita jadi merasa gagal karena orang-orang bilang di umur sekarang seharusnya kita sudah menikah. Kita belum punya anak, merasa gagal karena orang-orang selalu bertanya kapan kita punya anak. Kita merasa gagal karena menurut orang seharusnya kita bisa masuk universitas B, bukan A.
Capek dan tidak punya prinsip
Kalau kita terus-terusan merasa gagal hanya karena kita tidak bisa menyenangkan orang lain, lama-lama kita yang akan tersiksa sendiri. Mau kita nikah sekarang, punya anak saat ini, masuk universitas B, pasti tetap akan ada saja penilaian-penilaian orang selanjutnya. Serius, itu capek!
Bukan cuma capek, kita jadi terlihat seperti orang yang lemah. Karena semua apa kata orang selalu kita ikuti. Belum selesai A, sudah muncul lagi pendapat B. Baru juga menuntaskan C, ada lagi yang menuntut D. Akhirnya kita jadi orang yang bisa dibilang tidak punya prinsip.
Kita mungkin merasa bahwa kita sedang menyenangkan orang lain, tapi orang lain yang ‘sedang kita senangi’ itu aslinya tidak melihat usaha kita. Yang mereka lihat, hanyalah kita orang yang lemah, yang mudah terpengaruh. Atau pun kalau kita ‘dilihat’, orang-orang selanjutnya akan punya tuntutan baru.
Bahagiakan diri sendiri dulu
Setiap orang berhak bahagia. Maka bukan kita yang terus-terusan berusaha bahagiakan orang lain. Tapi yang lebih utama adalah membangkitkan diri kita sendiri untuk bahagia terlebih dahulu. Sayangnya, kita tetaplah manusia biasa. Kita bukan super power yang punya kekuatan untuk menyenangkan semua orang. Paling tidak, kita harus memilih kita mau menyenangkan siapa saja. Sisanya, bisa dibilang itu bukan tanggung jawab kita.
Sampai sini benar kata Mbak Annisast, yang seharusnya kita bahagiakan pertama kali adalah orang-orang terdekat kita. Keluarga, saudara, sahabat. Sebab mereka yang selalu ada buat kita. Justru memang merekalah yang sebaiknya tidak kita kecewakan. Tapi lagi-lagi, kita juga harus punya standar sendiri apa yang mampu kita lakukan dan membuat diri kita sendiri bahagia. Supaya suatu saat kita bertemu dengan ‘tuntutan’ baru dari orang terdekat, kita bisa lebih mudah memberi pengertian. Asal, tetap memberi pehamannya dengan jalan kebaikan 🙂