Apa kamu tahu rasanya?
Atau mungkin kamu akan bilang, “Yah gue sih udah ngerasain banget.”
Oke selamat!!
Kalau saya? Saya hanya bisa berdehem. Hmm….
Bukan berdehem bagaimana, tapi berdehem karena sampai saat ini saya belum pernah merasakannya!
Kenapa? Sebab ibu tak pernah mengizinkannya. hehehe..
Bukan karena ibu ingin memanjakan anak-anaknya, melainkan seperti ibu-ibu yang lain, seorang ibu slalu punya banyak pertimbangan. Khawatir anaknya kenapa-napa, takut anaknya begini, begitu. Biaya hidup di luar yang pasti jauh lebih mahal dibanding di rumah. Yah seperti itulah kira-kira.. Yang pasti ibu selalu bilang, “Makan nggak makan asal kumpul!” Tapi lain hal jika kelak saya sudah menikah, ibu malah menginginkan anak-anaknya setelah menikah langsung pisah dengan orang tua, alasannya agar mandiri!
Sebenarnya dari hati yang terdalam saya, *ceileeehh* saya ingin sekali merasakan. Merasakan bagaimana jauh dari rumah, jauh dari orang tua, jauh dari keluarga. Saya ingin tahu kadar kemandirian saya sampai mana. Jujur bisa dibilang sebagian keperluan saya masih diladeni, makan contohnya. Untuk hal lain, insya Allah saya sudah bisa mandiri. Beda hal nya kalau saya jauh dari rumah. Mungkin setelah saya pulang, tak ada makanan, rumah berantakan karena tak ada yang merapikan. Ya meskipun saat ini sudah banyak kos-kosan yang memberikan segala fasilitas. Kita hanya tinggal bayar sewa nya saja. Hal-hal yang seperti itulah yang mendorong saya ingin menjadi seorang perantau, yang nantinya membuat saya lebih banyak bersyukur betapa rumah memang tempat kembali dan menghargai betapa keluarga sangat amat berarti.
Pernah suatu ketika, saya bercanda pada salah satu teman yang mengeluh ‘home sick’ karena harus kuliah jauh, sehingga jauh pula dari rumah dan keluarga. Saya bilang, “Tukeran yuk.” Spontan teman saya bilang, “Hei buat apa, harusnya kamu bersyukur masih bisa tinggal di rumah, kerja kuliah ngga harus jauh dari keluarga.” Belum lagi seorang yang lain pernah bilang, “Ngapain jauh dari orang tua, nggak enak. Justru kalo deket sama orang tua bisa jadi ladang pahala.” Deg!
Saya bersyukur punya ibu yang full time at home sejak saya lahir (bahkan dari kakak-kakak saya lahir hehe). Ya ibu saya memang ibu rumah tangga. Itu sebabnya kami anak-anaknya dapat perhatian penuh sejak kecil. Dan rasanya saya memang harus bersyukur, saya tidak diizinkan menjadi perantau. Sebab banyak di luar sana yang mengharuskan dirinya untuk merantau jauh demi sekolah, mencari rezeki dan berbagai hal lainnya. Belum lagi harus memikirkan biaya hidup sendiri. Untuk makan+bayar kos saja sudah cukup lumayan. Belum lagi ditambah bagi yang suka jajan dan jalan-jalan hehe. Namun saya tidak perlu terkena gejala home sick seperti yang teman-teman perantau rasakan atau berjuang mencari biaya hidup untuk sekedar bayar sewa kos. Di lain itu, saya selalu punya tempat kembali yang nyaman, dekat dengan keluarga membuat saya punya lebih banyak kesempatan untuk bercengkrama bersama mereka. Tak perlu telepon, sms, skype atau apapun hanya untuk sekedar menatap dan bercengkrama dengan mereka. Dekat dengan orang tua juga menjadikan ladang pahala bagi saya untuk berbakti langsung kepada mereka.
Hmm.. apapun itu adalah sebuah pilihan. Merantau atau tidak semuanya sama-sama punya sisi positif. Mungkin suatu saat jika Allah berkehendak, keinginan saya untuk menjadi perantau terkabulkan (hehe tetep :D). Pernah juga iseng-iseng saya bermimpi punya pekerjaan di luar daerah sehingga saya bisa menjadi perantau. Syukur-syukur juga bisa punya suami dari luar daerah, jadi merantaunya lebih berasa 😀
Untuk kamu-kamu yang merantau, pasti kalian punya lebih banyak cerita. Cerita tentang suka dukamu selama merantau dan cerita tentang kebahagiaanmu saat kembali pulang. Begitupun saya. Meskipun saya belum bisa merasakan, tapi saya juga punya cerita tentang kedekatan dengan keluarga yang memang tak tertandingi, hehehe ^_^
Comment on “Merantau….”