Saya ingat sekali, kejadiannya waktu SD kelas 6. Saat itu bulan puasa dan masih masuk sekolah. Kebiasaan saya habis sahur dan sholat subuh tidur lagi (yaa, ini memang kebiasaan yang buruk -_-). Dan biasanya ayah ibu membangunkan saya jam 6 untuk mandi. Tapi entah kenapa waktu itu saya tidak dibangunkan. Entah mereka lupa atau memang karena mereka harus ke pasar.
Singkat cerita, karena tidak dibangunkan, saya baru bangun jam 6.45! Sungguh panik luar biasa. Cepat-cepat saya ambil handuk, mandi dan pakai seragam dengan tergesa-gesa. Rasa kesal pada ayah ibu dalam hati berkecamuk. Saat mereka baru pulang dari pasar, saya marah pada mereka karena tidak membangunkan saya.
Buru-buru saya ambil sepeda dan meninggalkan mereka tanpa pamit dan salam. Saya kebut sepeda dengan kecepatan tinggi. Begitu sampai di jalan raya dan mau nyebrang, tiba-tiba saja bunyi “tiiiiiiiiiiiiiinnnnn” dengan sangat keras. Sampai-sampai orang di sekitar langsung berhenti. Saya nyaris tertabrak! Tinggal sedikit saja mobil itu bisa mengenai sepeda saya dan mementalkan saya ke kejauhan. Tapi sungguh, Allah masih menolong saya. Untungnya pengemudi mobil itu dengan cepat menekan pedal remnya.
Dalam kekalutan, saya segera minta maaf dan kembali jalan ke sekolah. Hati saya benar-benar tidak karuan. Deg-deg jantung masih terasa. Wajah saya pucat pasi. Sampai-sampai wali kelas bertanya apa saya sakit atau tidak.
Sungguh menyesal rasanya. Pertama, saya meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan tidak pamit pada ayah ibu. Kedua, akibat ulah tergesa-gesa, saya nyaris saja terserempet mobil dan bisa saja terpental. Ketiga, ngebutnya saya ternyata tidak berarti, pasalnya begitu tiba di sekolah, ternyata murid-murid – baru berbaris dan belum masuk kelas, hiks.
via Pixabay |
Saya tidak tahu apa jadinya kalau Allah tidak menolong saya saat itu. Apakah saya masih hidup sampai saat ini atau tidak. Yang jelas itulah kali pertama (dan semoga yang terakhir) saya merasa nyawa saya di ambang batas. Sungguh, kalau dipikir sekarang, mati itu rasanya benar-benar dekat. Saya juga merasakan itu saat melahirkan. Rasanya sakit luar biasa. Saya hanya memohon pada Allah, bila sesuatu terjadi pada saya, Allah masih menyelamatkan anak saya. Masya Allah 😢
Belum lagi dengan beberapa kejadian di lingkungan terdekat sungguh menusuk nurani. Pagi terlihat sehat. Kemarin masih menyapa. Tiba-tiba esoknya dikabarkan sudah tidak ada. Subhanallah.
Maka benarlah jika dikatakan, apa yang paling dekat dengan kita bukan bayangan diri sendiri, melainkan ialah kematian. Sungguh, malaikat pencabut nyawa itu selalu ada di sekitar kita. Ia tinggal menunggu perintah dari Yang Kuasa. Kun fayakun. Dan sungguh, kematian adalah sebaik-baik pelajaran bagi kita.
اَللّهُمَّ اخْتِمْ لَنَا بِاْلاِسْلاَمِ وَاخْتِمْ لَنَا بِاْلاِيْمَانِ وَاخْتِمْ لَنَا بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ“Ya Allah, akhirilah hidup kami dengan islam, akhirilah hidup kami dengan membawa iman, akhirilah hidup kami dengan husnul khotimah”
yaa ampuun mba…gak kebayang yaa shocknya dirimu. bener mba…kematian memang sangat dekat. smoga kita selalu diingatkan sama hal ini yaa. biar berbuat amal terus
Aamiin aamiin ya Rabbal alamin :')
Haduuuh, pengalaman hampir ngga ada itu ngeri banget yaa
Banget Mbak hiks
Saya ikut merinding baca postingan ini. Benar, mbak. Yang paling dekat dengan kita itu kematian. Semoga bila saat itu tiba, kita dalam keadaan khusnul khatimah ya mbak. Aamiin
Aamiin aamiin ya Rabbal alamin 🙂
makasih sharingnya