Kapan hari, saya pernah webinar di Zoom. Sejak awal saya lihat akun sang narasumber, saya agak kurang suka sebenarnya. Entah kenapa, yang jelas perasaan saya nggak gitu enaklah dengan beliau. Dan benar saja, pas saatnya webinar, saya tetap saja tidak suka.
Saya tuh nggak cuma sekali begitu. Sering saya belum ketemu orangnya, atau baru juga ketemu sekali, atau malah baru lihat akunnya di media sosial. Tapi suka tiba-tiba aja ada perasaan kurang enak. Dibilang firasat sih nggak tahu ya, tapi memang saya nggak suka aja dengan orangnya.
Pertama kali firasat itu datang saat SD
Saya ingat banget, pertama kali begini waktu SD. Saya melihat satu anak laki-laki kayak nggak suka gitu. Cuma saya nggak benci ya. Memang biasa saja. Ternyata mohon maaf, dia tidak pintar dan sempat jadi anak ‘yang bikin ulah’.
Kedua kalinya, saya mengalami hal yang sama. Masih saat SD juga. Saya melihat satu anak, dan nggak suka. Tapi ternyata memang terlihat sekali bahwa dia sombong. Dia memang orang kaya. Rumahnya besar.
Pas SMP juga pernah saya tidak suka dengan satu orang. Dia nggak kenapa-napa. Cuma saya tidak suka aja. Dan ternyata dia lambat dalam belajar. Dan dalam pergaulan pun terbilang anak yang ya nothinglah.
Tetap tak boleh berpikir buruk pada orang lain
Kalau dirunut, entah berapa kali saya mengalami kejadian itu sampai sekarang. Kalau dibilang saya bisa baca karakter orang lain, bisa jadi. Sekarang bahkan dari media sosial pun saya bisa tahu kok.
Misalnya saja sang narasumber tadi. Lewat postingan di media sosial beliau, saya tahu bahwa ada bibit-bibit kesombongan darinya. Tahu dari mana, itulah yang namanya perasaan. Semacam firasat kali ya. Dan benar saja, pas saatnya webinar, hm apa ya, kesombongan itu terlihat nyata dalam dirinya. Firasat saya pun mengatakan, “ini orang suka meremehkan orang lain.”
Tapi suami mengingatkan, ya kita nggak boleh suudzon juga sama orang lain. Ya memang benar sih, toh saya juga belum kenal orangnya secara langsung kok. Duh maafkan hamba, ya Allah.
Apakah saya hanya bisa membaca ketidak-sukaan, ya nggak juga. Dalam berinteraksi langsung justru saya lebih mudah membaca karakter orang. Seperti saat ini, lewat media sosial. Saya tahu mana orang yang ramah, mana orang yang punya bibit-bibit kesombongan dalam dirinya. Dan percaya atau tidak, itu seringkali benar saat kita berinteraksi di dunia nyata.
Saya terbilang orang nggak punya banyak teman dekat. Karena memang sulit sekali untuk saya bisa terbuka dengan orang lain. Saya hanya mau terbuka, kalau saya merasakan ada kenyamanan di dekat orang tersebut. Dan kenyamanan inilah yang tidak bisa dijelaskan.
Cukup disadari saja, tak perlu menghakimi
Saya kira, saya bisa begini mulai dari kecil. Entah dari mana bibitnya, memang dari dulu saya selalu bisa merasa “oh saya nyaman dekat dengan ini, oh si ini orang baik, oh yang ini enak diajak ngobrol, duh kenapa ya saya nggak suka dengan dia?”
Wallahua’lam. Tapi sekarang saya hanya mau menyadari saja. Benar kata suami, saya tidak pantas menghakimi orang lain, terlebih saya belum kenal orang tersebut dengan baik.
Lagi pula saya selalu percaya. Manusia memang selalu punya dua sisi. Tak ada yang sempurna baiknya. Pun tak ada yang sempurna buruknya. Masing-masing pasti punya kelebihan.
Jadi cara saya misalnya ketemu dengan orang yang tidak saya suka sejak awal, saya cukup sadari perasaan saja. Tapi kalau orang itu malah mendekat, dan ternyata baik, saya malah bersyukur. Begitupun sebaliknya, kalau saya suka dengan orang, saya welcome ke dia. Dan semoga dia memang baik seperti yang saya pikirkan 🙂