Saya lagi baca sebuah novel. Dimana pemeran utamanya bisa berpindah-pindah dari alam semesta yang satu, ke alam semesta yang lain.
Misalnya, saat ini dia tidak punya adik. Mendadak ada yang menggelitik tubuhnya (yang rasanya seperti semut yang berjalan di kulitnya). Lalu semua hilang. Apapun yang ada di sekitarnya hilang. Sampai dia kembali normal lagi. Tapi ternyata semua berubah. Tiba-tiba dia jadi punya adik. Padahal sebelumnya dia anak tunggal.
Atau ketika ia sudah punya adik, tiba-tiba sensasi menggelitik datang lagi. Dan ternyata adiknya sudah meninggal.
via Pixabay |
Kurang lebih ceritanya begitu. Dan selalu seperti itu. Yang ia alami akan berbeda ketika ada sensasi semut menggelitik kulitnya. Semua akan berubah secara cepat. Kondisi setelahnya tidak akan sama seperti sebelumnya ketika ia merasakan tanda-tanda menggelitik tadi. Kondisinya ini ia sebut dengan ‘Saat-Ketidakberadaan’.
Sampai ia datang ke dua orang guru. Oleh satu gurunya, ia diberi jimat. Jimat itu sudah menyimpan memori yang ia inginkan. Dan itu akan membantunya untuk pergi ke situasi yang ia inginkan tersebut kalau Saat-Ketidakberadaan itu datang.
Memang, situasi yang ia inginkan datang. Tapi disitu ada dirinya yang lain. Dengan kata lain, dirinya jadi ada dua. Tapi ia yang sesungguhnya tidak bisa dirasakan keberadaannya oleh orang-orang di sekitarnya.
Singkat cerita, ia lelah menghadapi Saat-Ketidakberadaan itu. Akhirnya ia ingat nasihat seorang gurunya yang lebih tua. Bahwa sesungguhnya yang ia butuhkan bukan keberuntungan, melainkan adalah kedamaian atau penerimaan. Dengan kata lain, ia tidak perlu memiliki keberuntungan dimana ia bisa mencapai situasi yang diinginkan. Melainkan, ia harus berdamai dan menerima apapun situasi yang diterimanya.
Fiewh.
Hehe saya nggak lagi ngereview novel kok karena belum kelar baca 🙈. Saya cuma iseng ingat pikiran masa lalu dan berkaitan dengan cerita di novel tadi. Dimana dulu saya bertanya-tanya ke diri sendiri, “kenapa sih saya harus jadi diri saya? Kenapa nggak jadi orang lain? Gimana seandainya saya jadi dia atau tukaran jiwa dengan orang lain?” (Yang terakhir ini terinspirasi dari sebuah FTV 😂).
Itu bukan karena saya menyesal atas diri saya sendiri. Atau tidak bersyukur dengan keadaan. Bukan itu. Tapi murni hanya bertanya.
Nah setelah baca novel itu, saya jadi mikir, segala makhluk hidup yang diciptakan, khususnya manusia, memang sudah porsi yang paling tepat segalanya. Tentu saja versiNya. Karena Dialah yang menciptakan kita.
Misalnya saya sendiri. Saya terlahir dari kedua orang tua yang memberi saya nama Ade. Yang memiliki 4 saudara kandung. Saya menikah di usia 22 tahun. Saya punya dua anak di usia 24 tahun. Saya orang yang kadang ceroboh, tidak sabaran, dan panikkan. Saya suka membaca. Saya suka menulis. Atau jalan hidup-jalan hidup saya yang lainnya. Nah mungkin memang semua jalan inilah yang tepat bagi saya.
“Seandainya saya (bisa memilih) jadi orang lain. Bagaimana keadaan saya? Apakah saya bisa? Apakah saya sanggup menjalaninya? Apakah saya akan bahagia? Dan apakah itu sebuah keputusan yang tepat?” We don’t know.
Sering di setiap ujian dan kebahagiaan, saya mikir ke sana. Mungkin apa yang udah saya alami, saya dapatkan, memang sudah porsi yang (paling) tepat. Seperti inilah saya seharusnya. Seperti inilah keadaan yang memang pantas buat saya. Seandainya pun ada orang yang ingin menjadi diri saya, belum tentu orang itu pantas dan mampu.
Bersyukur dan menerima
Jadi novel ini secara tidak langsung mengingatkan saya pribadi. Bahwa memang, apapun keadaan kita, seharusnya kita menerima. Walaupun seringkali itu pun tidak mudah. Tapi kita hanya manusia yang pandangannya terbatas. Kita hanya bisa melihat apa yang terlihat oleh mata kita.
Padahal sesungguhnya ada maksud-maksud Allah yang sering kita nggak tahu. Allah menguji kita dengan kesedihan, mungkin ada hikmah di belakangnya. Allah memberi kita kebahagiaan, mungkin ada hikmah di baliknya. Dan ketika kita mau selami itu, sesungguhnya kita akan mampu mengambil sendiri hikmah-hikmah itu.
Ya mungkin bisa dibilang juga ini anjuran kita untuk bersyukur. Bahwa apapun kondisi kita, situasi dan kondisinya, segalanya harus kita terima. Sebab memang tidak semua apa yang kita inginkan bisa tercapai. Barangkali sesuatu yang kita inginkan itu memang tidak pantas bagi kita. Belum baik bagi kita. Atau bisa juga ditunda waktunya. Wallahu a’lam bishowab 😊
Terakhir sebagai penutup, ada satu do’a bagus di dalam novel ini:
“Tuhan, tolong beri aku keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, beri aku kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah, dan beri aku kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.” – Ally (150-151)
Lantas, sudahkah kita bersyukur hari ini? 😊
Memang sepatutnya kita bersyukur dan menerima dengan ikhlas segala ketentuannya meski sulit. Namun, pada kenyataannya, kita bukan satu2nya yang malang. Masih banyak yang jauh lebih malang lagi. 🙂
Iya Mbak sawang sinawang. Hidup itu punya ujiannya masing-masing 🙂
Aku juga pernah merasa jadi orang paling menyedihkan di dunia. Stres, frustasi, sampai akhirnya ikut renungan, dan dengar ceramah-ceramah agama. Rasanya plong, Mbak.
Iya kalo lagi begitu, butuh siraman rohani memang :')
makasih sharingnya..diingatkan utk bersyukur
Sama-sama Mbak, semoga kita bisa slalu bersyukur 🙂
proses menerima ini Mbak, butuh banyak waktu, 🙂
Yap. Ga mudah memang. Tapi pelan tapi pasti bisa :')
Apapun yang menyertai diri, kalau tidak ada penerimaan rasanya ada kehampaan, ketidakberadaan. Gimana sich enggak enaknya enggak diakui ada dan enggak dianggap, itu sedih. Eh, novelnya menarik banget, bacanya pasti ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh ceritanya ya, Mbak. Ngeri-ngeri penasaran pasti dech
Iya Mbak. 5 bintang deh untuk novelnya. Baguuuuus banget 😀
Novelnya bagus mba Ade.
Aku penasaran pengen baca. Judulnya apa mba ?
Ally, penulisnya Arleen A., Mbak