Kalau kamu disuruh memilih, kamu lebih memilih menjadi orang yang ikhlas atau orang bahagia?
Dua-duanya tidak ada yang salah. Semua kembali pada sudut pandangnya masing-masing. Asal kamu jangan (sok) pilih dua-duanya. Karena hidup ini adalah you win some, you lose some.
Saya memilih menjadi orang yang ikhlas
Saya sendiri? Saya lebih memilih menjadi orang yang ikhlas. Ikhlas mungkin belum tentu bahagia di dunia. Tapi menjadi orang yang ikhlas artinya dia bisa hidup dengan tenang. Dan ketenangan ini yang rasanya mahal sekali. Terlebih di zaman sekarang, dunia terasa berisik dan sibuk sekali. Ketenangan menjadi sesuatu yang menurut saya MEVVAH.
Ikhlas mungkin belum tentu bahagia. Bisa jadi ujian kehidupan terus menghampiri. Masalah demi masalah seolah tak pernah selesai. Hingga rasanya tak ada ruang untuk sekadar menikmati hidup sembari minum cokelat di teras rumah. Tapi ketika menjadi orang yang ikhlas, hidup terasa lebih tenang.
Masalah satu datang, tenang, hadapi. Masalah dua datang, tenang, selesaikan. Masalah ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, selalu bisa tenang karena sudah menjadi orang yang ikhlas atas apapun ujian dan cobaannya. Oh, terasa indah sekali, bukan?
Ada satu yang menarik. Kata seorang teman, “Aku rasa orang ikhlas pasti bahagia. Namanya juga ikhlas.”
Ya, bisa juga. Dan mungkin ‘memang seharusnya seperti itu.’ Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa bahagia di dunia memang tak ada yang sempurna. Dan selama orang hidup di dunia akan selalu ada ujian. Jadi, bahagia versi manusia – lagi-lagi menurut saya – masih jadi sesuatu yang semu. Apa yang bisa kita sebut dengan bahagia? Dan apakah bahagia menurut kita adalah bahagia terbaik menurut-Nya?
Tak salah memilih menjadi orang yang bahagia
Lain hal dengan suami. Beliau lebih memilih menjadi orang yang bahagia. Katanya, “Orang bahagia sudah pasti ikhlas.”
“Bahagia versi manusia itu kan bias. Gimana kalau dia berlimpah harta, dan merasa bahagia, sementara orang di sekelilingnya justru menderita dan kelaparan?” sanggah saya.
“Itu berarti sejatinya dia belum bahagia. Karena bahagia yang hakiki, yang timbul dari hati yang terdalam, dia tidak akan menikmati kekayaannya sendirian.”
“Dia akan berbagi maksudnya?”
“Iya. Karena yang kita omongin ini bahagia yang hakiki. Dan bahagia yang hakiki adalah bahagia dari hati yang paling dalam dan yang tidak pernah berbohong. Kalau dia menikmati kekayaannya sendirian, yakinlah bahwa sesungguhnya dia belum bahagia.
Lagi pula, sebenarnya tidak bisa dibuat pilihan antara ikhlas dan bahagia. Karena keduanya berbeda. Ikhlas itu sebuah proses. Dan bahagia adalah hasil akhir. Untuk menjadi bahagia, kita perlu ikhlas. Jadi ikhlas itu PROSES MENUJU bahagia. Itu yang benar.”
“Jadi, menurut Kakak, pilihan itu tidak apple to apple?” jawab saya.
“Ya, iya.”
Its ok. Itu hanya sekelumit percakapan dengan suami. Soal pilihan itu, lagi-lagi saya bilang bahwa itu adalah tergantung sudut pandang setiap orang. Dan saya rasa setiap orang punya alasannya masing-masing.
Jadi pilih orang ikhlas, atau orang bahagia?
Saat saya buat polling di Instagram pun hasilnya beda tipis. Mungkin, bisa jadi, mereka sebetulnya bingung juga. Ikhlas kan sudah pasti bahagia. Atau bahagia ya sudah pasti ikhlaslah.
Hehe. Saya sendiri tidak tahu dapat pilihan antara ikhlas dan bahagia ini dari mana. Tiba-tiba terlintas begitu saja. Saya hanya spontan kepikiran, “Apa yang kita cari di dunia?” Dan terlintas film Kiamat Sudah Dekat. Yang di dalam film tersebut orang tua dari si anak perempuan ‘menuntut’ laki-laki yang ingin meminang anak perempuannya untuk belajar ikhlas terlebih dahulu.
Ikhlas itu tidak mudah. Saya baru tahu makna film itu. Menjadi orang ikhlas memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu belajar sungguh-sungguh dan terus-menerus. Itu sebabnya, saya jadi bertanya, “Mana yang lebih penting antara menjadi orang ikhlas atau orang bahagia?”
Pada akhirnya, untuk sementara ini, saya masih berkeyakinan pada pilihan saya. Menjadi orang yang ikhlas adalah hal yang terutama. Sebab dengan keikhlasan, hati menjadi tenang.
Ikhlas dan bahagia versi manusia bisa jadi berbeda dengan menurut-Nya
Hati itu tidak pernah berbohong. Manakala hati terdalam kita tenang, itu berarti kita memang sudah sebenar-benarnya ikhlas. Karena jika ikhlas masih belum penuh, hati sejatinya masih ada rasa gelisah.
Perkara apakah kita sebenarnya ‘layak bahagia’ karena sudah ikhlas, itu hanya Allah yang tahu. Karena manusia – bisa jadi, sebetulnya – tidak pernah mengerti dengan ‘apa itu bahagia yang sebenar-sebenarnya’. Dan barangkali kita hanya bisa mengetahui, bahwa bahagia yang sejati, ya letaknya ada di surga-Nya kelak.
Lantas ada pertanyaan baru. Apa berarti kita ‘sudah pantas’ untuk masuk ke surga-Nya karena ‘kita (merasa) sudah ikhlas?’
Lagi-lagi hanya Dia yang Maha Tahu jawabannya. Karena bisa jadi, ikhlas versi kita dengan versi-Nya, masih berbeda.
Ya, memang. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu apa parameter sesungguhnya dari ikhlas dan bahagia itu. Mungkin kita hanya bisa menjalani hidup dengan sebaik mungkin sesuai aturan-Nya. Dan tak pernah berhenti untuk terus berusaha dan berdoa, sampai kita sendiri yang merasakan apa itu ikhlas dan bahagia yang hakiki, yang sebenar-benarnya 🙂
Kalau masih dibicarakan, itu namanya belum ikhlas.
Kalau ada yang bilang “saya ikhlas…” itu malah menandakan kalau dia belum ikhlas
Karena ikhlas itu bukan dilihat dari ucapan, melainkan dari tingkah lakunya, tanggapan spontan saat mengalami suatu kejadian.
Demikian yang sering disampaikan oleh guru saya
Ah iya betul. Ikhlas itu ga banyak omong 🙂
dan untuk ikhlas itu sulit ya, perlu banyak belajar dan berproses
Iya Mbak :’)
Kalo tidak ikhlas gak bakal bahagia. Karena konsep bahagia tanpa beban apapun
Harusnya begitu. Bahagia sejati tidak ada ganjalan apapun 🙂