Membaca tulisan Mak Annisa di sini saya jadi tergelitik untuk menulis juga. Di luar ingin beribadah, sebenarnya apa alasan saya harus menikah? Untuk apa saya menikah dan mengapa saya harus menikah? Dua tahun lalu saya menulis Aku Ingin Menikah, yang kini tidak pernah turun dari popular post. Padahal kalau ditanya, sampai sekarangpun saya belum membuat list untuk tiga pertanyaan tadi.
Tulisan itu saya buat saat masa-masa awal saya berhijrah dan memutuskan untuk tidak lagi berpacaran. Entah mengapa sejak itu keinginan saya menikah terasa menggebu-gebu sekali. Dulu saya punya target umur dua puluh tiga. Tapi kemudian saya berpikir, kalau memang sudah ada jodohnya, dipercepatpun tak ada masalah. Qadarullah, Allah Maha Punya Rencana, hingga kini sayapun belum dipertemukan dengan jodoh saya. Di saat-saat seperti ini, dalam kesendirian dan jika sepi mulai melanda sayapun kembali merenungkan, apakah saya sudah (benar) siap? Kalau saya sudah mengatakan siap, mengapa saya belum juga dipertemukan dengan sang pangeran? Ini pasti ada yang keliru. Dan setelah kembali dipikir-pikir, dirunut-runut, selain masih banyak sikap yang harus diperbaiki, sayapun kembali bertanya, apakah ini hanya sebuah ketergesa-gesaan? Apakah saya hanya iri pada teman-teman yang menikah muda? Apakah saya sudah memikirkan semua dampak jika berumah tangga?
Allah juga seperti sedang menunjukkan saya banyak hal. Sudah berapa kali saya ditunjukkan dengan mereka yang tidak pusing soal menikah. Ditunjukkan dengan masalah-masalah rumah tangga yang saya lihat nyata. Semua selalu saja ada. Sampai saya terkesima sendiri, ya Allah, inikah petunjukMu? Inikah cara-Mu agar saya belajar? Ya bisa saja jika saya memang mau mengambil hikmahnya. Semua permasalahan itu membuat saya jadi belajar, baiklah mungkin memang belum waktunya.
Saya paham menikah sangatlah mudah. Tapi kehidupan setelah pernikahanlah yang harus saya pikirkan. Saat ini saya sudah mulai membaca-baca buku tentang pernikahan dan rumah tangga. Kesempatan seminarpun tidak saya lewatkan. Dan yang terpenting, masalah-masalah rumah tangga yang saya lihat nyata di depan sayalah yang jadi pelajaran paling berharga. Jika suatu saat saya mengalami masalah yang sama, akankah saya bisa menjalaninya? Akankah saya bisa mengatasinya? Akankah saya bertahan dan tetap sabar? Ada yang bilang, tak usah memikirkan hal yang belum terjadi. Memang benar. Tapi paling tidak, ini jadi gambaran untuk saya. Tidak ada orang yang setelah menikah mengatakan pernikahannya mulus 100% tanpa masalah.
Lalu sudahkah saya siap dengan itu semua?
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. At Taubah (9):71].
yup! seninya setelah menikah itu adalah mampu mengolah kalau sewaktu2 menemui jalan yang kurang mulus 🙂
Setuju Mak 🙂
halo nisa, cekikikan baca komen kamu insyaAllah nanti ada berhadiah gamis giveawaynya heheheh semoga Allah mudahkan
ngomongin soal menikah saya rencana nikah umur 26 tapi qadarullah dimantapkan pada saat umur 24. karena memang insyaAllah segalanya sudah siap.
single itu seruuuuuuu…. heheh dan dinikmati aja optimalkan waktu
menikah juga perjuangan soalnya
semoga dimudahkan ya
I'm not Nisa Mbak, but Ade Delina Putri :))
Wah ma sya Allah, hebat itu hihi
Betul. Sedang mencoba bersyukur dan menikmati. Aamiin. Makasih ya Mbak 🙂
belajar dan terus belajar.. bahkan ketika telah menaiki bahtera pernikahan, teruslah belajar.. pernikahan tak melulu diisi dgn kebahagiaan, terkadang ada goncangan2 kecil untuk mempererat ikatan, agar semakin memahami makna pernikahan itu sendiri.. semangat ^^
Setuju.
Makasih sharingnya Mak ^_^
semoga segera dapat mba pangeran berkudanya..tapi bukan bawa kuda catur ya hehe…
Aamiin. makasih mas 🙂