Masa lalu itu kadang jadi bikin serba salah. Karena punya masa lalu A, akhirnya jadi terbawa ‘buruknya’ sampai sekarang. Contoh saja artis yang waktu itu ditinggal menikah mantannya. Padahal ya mereka pun putus sudah lama. Tapi masih saja ada yang mengait-ngaitkan masa lalu si perempuan dengan putusnya dia dengan mantan. Padahal setiap orang bisa berubah. Allah saja selalu memberi umat-Nya kesempatan untuk bertaubat kok.
Di sisi lain, ada seorang caleg terkena kasus pencabulan. Hadeuh. Yang ini sih jelas salah. Sudah tahu bikin ulah malah sok-sokan mau memimpin. Alhasil orang jadi tidak percaya. Ya jelas sajalah, pemimpin bagaimana yang diharapkan dari kasusnya tersebut.
Yang kayak gini bikin saya jadi mikir. Mungkin kalau kita mau bikin salah, harus mikir-mikir dulu kali ya. Harus ingat peran kita tuh sebagai apa. Even peran kita hanya dalam keluarga, kesalahan kita pasti akan ikut berdampak untuk keluarga. Apalagi jika peran kita juga besar di masyarakat, komunitas, atau organisasi seperti caleg tadi. Jelas sudah kita menjadikan nama komunitas dan organisasi kita ikutan jelek. Naudzubillah.
Rekam jejak masa lalu yang tak mudah dilupakan
Sayangnya, kita ini tidak bisa dengan mudah lagi percaya pada orang yang pernah punya rekam jejak masa lalu yang keliru. Si A punya masa lalu buruk, kita jadi nggak percaya lagi dengan dia. Si B punya kesalahan buruk, kepercayaan kita jadi hancur.
Sebetulnya wajar juga. Karena di awal istilahnya kita sudah naruh kepercayaan baik pada orang tersebut. Tapi jika orang tersebut bikin kesalahan terlebih itu fatal, maka hancurlah kepercayaan baik kita. Tidak bisa disalahkan. Tapi juga tidak bisa dibenarkan. Sebab sebetulnya, siapa pun manusia berhak untuk bertaubat. Memperbaiki kesalahannya. Maka mereka layak untuk dimaafkan.
Baca: Kekuatan Memaafkan
Tapi tetap, butuh peran besar dari si pelaku kesalahan untuk membangun kepercayaan dari awal lagi. Tapi jika si pelaku sudah maksimal untuk berbuat baik lagi dan kita masih belum bisa memaafkan, bisa jadi itu hak kita. Tapi Allah tetap akan memaafkan misalkan si pelaku bersungguh-sungguh untuk bertaubat tidak mengulangi kesalahannya dan meminta maaf.
Maka dari itu, jalan paling aman ya jangan bikin kesalahan yang fatal. Atau minimal kita tidak merugikan orang lainlah.
Iya masa lalu tidak bisa dijadikan panduan. Tapi masa lalu ini dinampikkan atau tidak, bisa menjadikan nilai kita berkurang atau bertambah. Contohnya saja, ada orang yang masa lalunya susah bayar hutang. Ketika besok-besok si pelaku ini mau meminjam lagi, wajar kalau tidak ada orang yang mau memberi. Lha wong, track record-nya sudah susah bayar hutang.
Memang jangan fokus pada masa lalu. Fokuslah di masa sekarang. Sayangnya kita juga makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Wajar kalau ada orang-orang yang belum paham soal ini. Menganggap bahwa kita masih berdosa karena masa lalu. Padahal di saat ini kita sudah jelas bertaubat.
Hanya karena satu orang, timbul stereotipe
Sialnya, kita juga suka bikin stereotipe sendiri. Misalnya ada satu orang suku A yang sedang tidak mau memberi sesuatu. Terus ada yang ngomong, “Ah orang suku A mah suka pelit.”
Si orang ini ngomong begitu hanya karena pernah lihat SATU orang suku A yang pelit. Padahal tidak semua orang suku A bisa digeneralisasi begitu. Semua ya tergantung orangnya. Tapi hanya karena satu orang, seluruh orang yang sukunya A jadi ikutan jelek.
Atau “Oh orang dari partai anu anggotanya pernah anu nih. Jangan pilih deh.” Padahal ya nggak semua orang di partai anu berbuat anu kan. Nah kayak gitu lho. Kasihan yang lain jadi kena imbasnya. Padahal yang lain juga tidak tahu apa-apa.
Jalan paling aman, tidak berharap pada manusia
Mungkin ini salah satunya kenapa kita dianjurkan untuk tidak berharap pada manusia. Karena manusia tidak bisa memenuhi apa yang kita butuhkan. Tidak bisa mengerti kita seutuhnya.
Dan itu pula sebabnya ketika bertaubat, kita harus menjadikan Tuhan, menjadikan Allah satu-satunya tempat untuk bersandar. Sebab hanya Dialah satu-satunya yang tidak pernah mengecewakan dan mengingkari kita. Dan Dia juga Maha Memaafkan.
Kita semua punya aib
Untuk kita manusia. Kita semua punya aib. Punya kesalahan di masa lalu. Tidak perlu kita mencari-cari kesalahan orang lain. Dan mengorek-ngorek kesalahan mereka yang lain lagi. Yang membedakan mungkin mereka sudah terbuka ‘aibnya’. Tapi sungguh, Allah Maha Penyayang dengan masih menutupi aib-aib kita.
Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya.
Kita juga tidak bisa menggeneralisasi seluruh manusia dari suku, agama, tempat asal, ras, organisasi, dan lain-lain, hanya karena kesalahan satu orang. Karena setiap orang pasti dilahirkan berbeda pemikiran. Berbeda perilaku. Hanya karena satu orang, jangan membuat kita menjadi buta mata hati. Karena setiap orang tidak bisa disamakan perangainya.
Dan sadari bahwa kita ini cuma manusia yang pasti berbuat kesalahan. Sudah kodratnya manusia tempat salah dan lupa. Kalau kita saja ingin dimaafkan oleh orang lain, mungkin seharusnya seperti itu jualah kita bersikap 🙂
Pesan terakhirnya bener banget. Di agama saya pun diajarkan untuk selalu berharap dengan Tuhan seorang, karena berharap pada manusia itu bisa mengecewakan, even our spouse or parents ya. Thank you untuk tulisannya Mba (:
Betul. Bahkan ke orang terdekat pun jangan terlalu tinggi menaruh harapan :’)
Yg paling sering dr stereotype itu org suka menggeneralisir. Padahal yakin sllu ada kebaikan dr laku keburukan yg dilakukan seseorang tuh. Salam kenal mbak. Ghina
Iya. Setiap orang pasti berbeda 🙂