Di salah satu pelajaran Emotional Healing hari Minggu kemarin, ada satu pelajaran yang Mas Adjie sampaikan yaitu tentang media sosial. Teknologi memang tak pernah salah. Ia memudahkan manusia untuk menjalankan banyak kegiatan dan pekerjaan. Sayangnya, dalam hal media sosial juga membuat kehidupan dan pikiran kita menjadi kompleks. Bingung. Saking terlalu banyaknya aliran informasi yang masuk, seringkali kita jadi tidak menikmati masa kini dan di sini.
Sebelumnya, saya sudah sering berkontemplasi soal media sosial ini. Apalagi semenjak banyak diskusi dengan suami karena saya yang bebal dengan arus-arus informasi yang tidak bisa saya saring. Makanya, waktu Mas Adjie bilang media sosial membuat pikiran menjadi kompleks, saya sudah tidak heran. Malah menggumam, “Iya bener. Bener.” Haha.
Media sosial membuat kita…
Media sosial membuat kita jadi kehilangan beberapa esensi hidup di dunia nyata.
Media sosial membuat kita mudah bereaksi. Mudah percaya pada berita yang baru dishare. Apalagi jika yang share adalah orang yang menjadi ‘panutan’ kita. Padahal belum tentu itu yang sebenarnya terjadi. Atau ketika ada yang tidak kita suka, kita langsung bereaksi untuk komen. Ada yang ganggu kita, langsung kita bikin status. Padahal buat apa juga tujuannya, jika yang mengganggu saja tidak baca status kita.
Media sosial bisa membuat perang antar saudara. Saling blokir karena beda pilihan. Beda pendapat. Bahkan sampai dibawa jadi pembahasan di dunia nyata. Astagfirullah. Sebetulnya sah-sah saja, toh itu memang pilihan kita. Sayangnya, kalau ini terjadi dengan orang terdekat kita. Yang tadinya saudara, sahabat, jadi harus bertengkar hanya karena beda pilihan.
Media sosial bisa membuat kita menjadi tertutup pada dunia nyata. Saking asyiknya berinteraksi di dunia maya, kita lupa bahwa saat itu kita sedang bertemu sahabat lama. Kita lupa sedang berkumpul bersama keluarga. Tapi kita malah asyik sendiri. Kita justru lebih nyaman berbincang dengan orang yang jauh dari mata bahkan tidak kita kenal.
Media sosial bisa menjadi atau mengundang kejahatan karena foto-foto atau postingan berlebihan. Memosting anak yang telanjang. Memosting aurat dengan terbuka. Memosting uang yang baru kita dapatkan. Atau barangkali isi rumah yang bisa memancing orang jahat mengincar kita.
Hasad, sombong, dan lupa bersyukur
Media sosial bisa membuat kita menjadi sombong. Merasa benar dengan pendapat sendiri. Merasa paling di antara yang lain. Atau mungkin merasa diri superior.
Media sosial bisa membuat kita menjadi hasad. Si A posting kulkas baru, kita kepingin. Si B posting jalan-jalan ke Eropa, kita merongrong suami untuk ke Eropa. Atau barangkali kita iri karena merasa hidup kita tidak seindah yang lain. Padahal kita lupa bahwa TIDAK ADA manusia hidup tanpa ujian.
Baca: Apa yang Kita Tulis, Tidak (Selalu) Sama di Mata Pembaca
Kita juga lupa pada tujuan karena sering atau banyaknya melihat postingan orang lain. Awalnya kita hanya pingin A. Lalu si X punya B, kita jadi pengen juga. Si Y melakukan C, kita jadi pengen juga. Hingga akhirnya kita terombang-ambing tidak jelas.
Dan yang terakhir, media sosial bisa membuat kita lupa untuk bersyukur. Lupa dengan apa-apa yang sudah ada. Memikirkan dan memaksakan dengan segala hal yang belum kita punya. Astagfirullah.
Mengapa media sosial membuat kehidupan kita menjadi kompleks?
Itu karena kita belum punya tujuan dan prinsip yang baik.
Saya jadi belajar, bahwa dalam hidup kita memang harus punya tujuan dan prinsip. Supaya tidak mudah terpengaruh dari luar. Ketika kita tahu arah, kita tahu apa yang kita inginkan. Dengan begitu, maka kita lebih mudah untuk melakukan apa yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan kita.
Tidak pengaruh lagi A posting foto apa di media sosial. Tidak terpengaruh lagi si B posting tulisan apa di media sosial. Selama itu tidak sesuai dengan tujuan kita, kita akan lebih mudah mengabaikannya.
Kita boleh saja belajar di media sosial. Tapi ketika kita tahu arah tujuan, maka kita tahu mana yang harus kita serap. Mana yang bisa kita terapkan sesuai kondisi kita. Dan mana yang bisa kita abaikan saja. Dengan begitu pula, kita akan lebih mudah untuk menyaring informasi sebelum membagikannya pada khalayak.
Pada akhirnya, bukan media sosial yang salah. Tapi kitalah sebagai pengguna yang masih harus belajar bijak memanfaatkannya. Sharing ilmu, pengalaman, belajar hal yang kita sukai, gabung bersama orang-orang yang satu minat. Juga bersua dengan teman dan saudara yang sudah lama tidak kita temui 😊
kita yg harusnya jadi pengendali atas medsos kita ya..bukan medsos yg ngendaliin kita
Betul sekali Mbak 🙂
Aku setuju dengan pembahasan di atas, selayaknya sosial media memang dijadikan sarana belajar, menambah wawasan. Dan prinsip ini emang harus dijaga supaya tidak mudah terpengaruh. Tulisannya inspiratif.
Terima kasih Mak Yul 🙂 Jangan sampai kita kalah dengan media sosial ya, Mak 🙂
Setuju banget mbak, saya pas baca cerita sedih yang viral-viral gitu malah jadi kepikiran sampai masak dan mandi aja kepikiran padahal kenal juga nggak. Hadeeeh. Pada akhirnya saya coba menjalani prinsip kalau media sosial sebatas hiburan dan cari uang, jangan dibawa baper.