Halo 2020. Tahun yang bagus angkanya. Sudah tanggal 8, tapi baru nulis. Nggak apa-apa deh ya. Entah kenapa nulis di blog jadi semakin jarang. Hiks. Semoga tahun ini bisa lebih bagus dari 2019.
Saya memang lagi merasa bosan ngeblog. Entah kenapa. Sekarang pun belum masuk lagi ke grup WhatsApp blogger manapun. Semenjak tutup media sosial gara-gara quarter life crisis tahun lalu, jadi left banyak grup. Termasuk grup blogger.
Istirahat dari dunia maya
Waktu itu lagi merasa riuh dengan diri sendiri. Kayak capek aja gitu dengan arus informasi yang mirip banjir bandang. Saya muak, merasa berisik. Kenapa harus banyak informasi yang saya dengar. Kenapa semakin banyak teori yang bermunculan. Kenapa banyak berita yang perlu saya tahu. Sampai kemudian, saya memutuskan untuk menutup akun Facebook, Instagram, Twitter, dan ya, left semua grup WhatsApp. Dan hanya menyisakan grup keluarga inti saja.
Ya separah itu. Saya sudah capek sendiri. Saya pikir bisa memfilter sebanyak apapun informasi yang masuk. Tapi sayangnya, ternyata tidak. Saya belum pandai. Walhasil saya jadi stres sendiri.
Istirahat dari media sosial itu ternyata perlu, Gaes.
Sekarang sih, Facebook, Instagram, Twitter sudah saya buka lagi. Ya ada kemajuanlah, saya sudah nggak mau baca-baca apa yang saya rasa nggak penting. Saya sudah nggak mau dengar apa-apa yang saya rasa nggak perlu. Walau untuk ini pun saya harus berusaha keras dengan diri sendiri. Karena masih aja ada godaan yang bernama, “Wah gue kan pengen tahu.”
Prioritaskan keingin tahuan kita
Keingin tahuan kadang malah nyiksa diri sendiri. Padahal keingin tahuan itu bisa kita bikin prioritas. Bener kan? Nggak semua informasi harus kita baca dan ketahui. Memang, kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya kita mau, rasa keingin tahuan itu bisa menggerus kita menjadi pribadi yang kacau.
Sampai akhirnya saya pun unfollow orang-orang yang saya rasa bisa jadi trigger keributan dalam diri saya. Nggak cuma akun-akun buruk aja, tapi juga akun-akun yang sebetulnya membawa banyak manfaat, tapi karena saya nggak bisa memfilter untuk membawa manfaat itu – dan malah jadi ribut sendiri, ya saya unfollow juga.
Misal, seseorang yang lama saya kagumi lagi ngereview film. Lalu saya ceritalah review itu ke suami. Eh, kami malah jadi ribut. Saya jadi nggak tentu arah ngomongnya. Oke, untungnya suami masih bisa mendamaikan.
Tapi besokannya, orang yang saya kagumi cerita hal lain lagi, eh saya jadi ribut lagi sama diri sendiri karena jadi punya ekspektasi tinggi untuk ‘nurutin’ cerita yang saya baca.
Sampai kemudian suami menyadarkan saya, bahwa kalau saya nggak bisa memfilter apa yang ada di dalam diri sendiri, ya lebih baik kita filter yang datang dari luar. Kita mungkin kesulitan untuk filter informasi apa saja. Tapi kita sangat bisa untuk mengantisipasi itu agar tidak masuk ke dalam diri kita.
Yap, saya pun akhirnya belajar pelan-pelan. Belajar mengenali diri sendiri. Merenungi apa yang sebenarnya saya mau. Dan apa yang membuat saya terganggu. Jadi, misal pun itu sebuah teori yang bagus dan akun yang baik, kalau alarm tubuh saya mulai menyala aka terganggu, ya saya akan mute, atau unfollow akun tersebut.
Tubuh kita sebenarnya punya alarm
Perkara media sosial ini ternyata ribet juga. Bagi orang yang bisa memfilter dan nggak larut ke dalam diri, ya bersyukurlah. Tapi untuk orang-orang macam saya yang mudah terdistraksi hanya gara-gara apa yang datang dari dunia maya, ini bisa jadi masalah serius. Kalau tidak ditangani, akan muncul banyak perasaan ketakutan dan tidak karuan yang bisa berimbas ke dalam kehidupan nyata.
Saya jadi ingat, dulu pas masih sekolah (lupa kelas berapa) masih zamannya nonton TV. Setiap hari saya nonton berita pemerkosaan yang pelakunya orang-orang terdekat. Sampai kemudian, setiap di rumah hanya ada ayah dan kakak-kakak laki-laki saya, saya jadi ketakutan. Saya takut diapa-apain.
Untung saja lama-lama saya sadar sendiri, “Apaan sih gue, konyol banget. Kenapa jadi suuzon sama keluarga lu sendiri. Padahal kan mereka baik-baik aja. Nggak ada tuh niat jahat sama lu.”
Akhirnya saya memutuskan untuk nggak nonton berita lagi. Dan saya pun hidup damai kembali.
Media sosial juga sama. Saya banyak baca teori tentang A nih. Lama-lama saya jadi pengen A terwujud dalam kehidupan saya. Padahal kan, tidak semua kondisi bisa dibawa ke A. Saya malah jadi ribut sendiri, marah sendiri, sampai bisa-bisa saya ribut sama orang sekitar hanya gara-gara ekspektasi saya nggak kesampaian.
Lama-lama saya jadi capek sendiri. Udahlah saya nggak mau baca teori tentang A lagi. Better saya jalanin aja apa yang saya yakini.
Ya, kayak gitu. Jadi bukan juga berita atau informasi dari luar yang salah. Tapi diri kitanya sendiri yang belum bisa menyaring. Kita terlalu sulit untuk mengatur apa yang terjadi di luar, jadi memang harus kita yang pandai-pandai mengatur diri sendiri.
Informasi itu tidak salah. Berita mungkin cuma bertugas untuk memberitakan agar kita tahu. Tapi kalau timbulnya kita jadi sering merasa cemas, takut, marah, itu fix kita sendiri yang salah. Karena perasaan-perasaan itu sebenarnya kita buat-buat sendiri.
Kita perlu mengenal diri sendiri
Jadi ya begitulah, kalau memang kita masih kesulitan menyaring, better dikurangi membaca dan mendengar apa yang ada di luar. Nggak semua penting bagi kita kok. Nggak tahu itu nggak apa-apa banget. Malah lebih baik kita nggak tahu tapi hidup kita damai. Ketimbang kita tahu, tapi kita jadi cemas, takut, dan marah.
Dari situ kita akan sendirinya mengenal diri kita. Mengenal apa yang sebenarnya kita mau. Dan akhirnya tahu kapan saatnya kita harus menghindari sesuatu agar tidak mengganggu kehidupan kita di dunia nyata.
Saya sendiri sekarang punya kesimpulan. Kalau saya sudah merasa capek, saya akan istirahat dulu. Baik itu dari dunia maya. Maupun dunia nyata. Berteman dan berdamai dengan diri sendiri ternyata lebih perlu.
Jangan siksa diri kita dengan apa yang tidak bisa kita saring. Ketimbang kesulitan menyaring, mendingan kita antisipasi duluan biar nggak masuk ke diri kita supaya nggak terganggu.